Sabtu, 14 Juli 2012

Puasa Ramadhan


Puasa Ramadhan dan Keutamaannya

Puasa ramadhan adalah salah satu di antara rukun Islam, dia diwajibkan pada tahun ke II H. Dan sejak diwajibkannya, Nabi shallallahu alaihi wasallam telah berpuasa sebanyak 9 kali.
Puasa ramadhan diwajibkan dengan salah satu dari dua perkara:
•    Rukyat hilal.
•    Atau menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan sya’ban menjadi tiga puluh”. (HR. Al-Bukhari no. 1776)
Allah Azza wa Jalla berfirman:
ياأيها الذين ءامنو كتب عليكم الصيام كما كتب على  الذين من قبلكم لعلكم تتقون
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini, Allah Ta’ala berfirman berbicara kepada kaum mukminin dan memerintahkan mereka untuk berpuasa, yaitu menahan diri dari makan, minum, dan jima’, dengan niat ikhlas karena wajah Allah Azza wa Jalla. Hal itu karena di dalam puasa terdapat kesucian, kebersihan, dan kemurnian jiwa dari hal-hal yang rendah. Allah Ta’ala menyebutkan bahwa sebagaimana Dia telah mewajibkan puasa kepada mereka, Dia juga telah mewajibkannya kepada orang-orang sebelum mereka, sehingga dalam hal ini mereka sudah mempunyai tauladan yang mendahului mereka. Dan hendaknya mereka (kaum muslimin) harus bersungguh-sungguh dalam menjalankan kewajiban puasa ini dengan kesungguhan yang lebih sempurna dibandingkan orang-orang sebelum mereka. Sebagaimana pada firman Allah Ta’ala:
لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجاً ولوشاء الله لجعلكم أُمة واحدة ولكن ليبلوكم فيما آتاكم فاستبقوا الخيرات
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al-Maidah: 48)
Karenanya Allah Ta’ala berfirman di sini:
ياأيها الذين ءامنو كتب عليكم الصيام كما كتب على  الذين من قبلكم لعلكم تتقون
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Karena puasa ini bisa menyehatkan tubuh dan mempersempit jalan-jalan setan. Karenanya telah shahih dari hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya.” (HR. Al-Bukhari no. 4678 dan Muslim no. 2485)
Kemudian, dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Setiap amal anak Adam dilipatgandakan pahalanya. Satu macam kebaikan diberi pahala sepuluh hingga tujuh ratus kali. Allah ‘azza wajalla berfirman; ‘Selain puasa, karena puasa itu adalah bagi-Ku dan Akulah yang akan memberinya pahala. Sebab, ia telah meninggalkan nafsu syahwat dan nafsu makannya karena-Ku.’ Dan bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan. Kebahagiaan ketika ia berbuka, dan kebahagiaan ketika ia bertemu dengan Rabb-Nya. Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada wanginya kesturi.” (HR. Muslim no. 1945)
Hadits ini menunjukkan bahwa semua amalan baik akan dilipatgandakan menjadi 10 kali sampai 700 kali lipat. Kecuali puasa, karena pelipatgandaannya tidak terbatas dengan jumlah tertentu, akan tetapi Allah Azza wa Jalla melipatgandakannya dengan pelipatgandaan yang sangat banyak tanpa batas. Hal itu karena puasa merupakan salah satu bentuk kesabaran, sementara Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
إنما يوفى الصابرون أجرهم بغير حساب
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)
Dan juga telah shahih dari hadits Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ
“Namun barangsiapa yang menahan (menjaga diri dari meminta-minta), maka Allah akan menjaganya dan barangsiapa yang meminta kecukupan maka Allah akan mencukupkannya dan barangsiapa yang mensabar-sabarkan dirinya maka Allah akan memberinya kesabaran. Dan tidak ada suatu pemberian yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas daripada (diberikan) kesabaran.” (HR. Al-Bukhari no. 1376 dan Muslim no. 1745)
Kesabaran itu ada 3 jenis:
•    Sabar dalam menaati Allah. Ini jelas ada dalam puasa, karena puasa itu adalah kesabaran dalam menjalankan perintah Allah.
•    Sabar dalam menjauhi larangan Allah. Ini juga jelas ada dalam puasa, karena orang yang berpuasa bersabar menjauhi hal yang diharamkan bagi mereka ketika berpuasa, padahal sebagian hal itu dihalalkan bagi mereka di luar ramadhan.
•    Sabar menghadapi takdir Allah yang menyakitkan. Ini juga didapatkan oleh orang yang berpuasa jika dia bersabar menahan perihnya lapar dan haus serta lemasnya tubuh.
Dan sudah dimaklumi bahwa semua hal menyakitkan yang menimpa seorang muslim ketika dia sedang beribadah akan dituliskan sebagai pahala. Sebagaimana pada firman Allah Ta’ala tentang para mujahidin:
ذلك بأنهم لا يصيبهم ظمأ ولا نصب ولا مخمصة في سبيل الله ولا يطأ ون موطأ يغيظ الكفار ولا ينالون من عدو نيلا إلا كتب لهم به عمل صالح إن الله لايضيع أجر المحسنين
“Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. At-Taubah: 120)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ
“Apabila bulan Ramadhah datang, maka pintu-pintu langit dibuka sedangkan pintu-pintu jahannam ditutup dan syaitan-syaitan dibelenggu.” (HR. Al-Bukhari no. 1766)
Hal itu karena di dalam bulan ramadhan, semangat untuk berbuat kebaikan dan amalan saleh bertambah yang dengannya pintu-pintu surga akan terbuka. Minat untuk berbuat kejelekan dan maksiat melemah yang dengannya pintu-pintu neraka tertutup. Serta setan-setan dibelenggu sehingga mereka tidak akan bisa menggoda manusia.
Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
“Dalam surga ada satu pintu yang disebut dengan Ar-Rayyan, yang pada hari qiyamat tidak akan ada orang yang masuk ke surga melewati pintu itu kecuali para shaimun (orang-orang yang berpuasa). Tidak akan ada seorangpun yang masuk melewati pintu tersebut selain mereka. Lalu dikatakan kepada mereka; Mana para shaimun, maka para shaimun berdiri menghadap. Tidak akan ada seorangpun yang masuk melewati pintu tersebut selain mereka. Apabila mereka telah masuk semuanya, maka pintu itu ditutup dan tidak akan ada seorangpun yang masuk melewati pintu tersebut.”(HR. Al-Bukhari no. 1763 dan Muslim no. 1947)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ نُودِيَ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا خَيْرٌ فَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّلَاةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّلَاةِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الْجِهَادِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الرَّيَّانِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَلَى مَنْ دُعِيَ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ مِنْ ضَرُورَةٍ فَهَلْ يُدْعَى أَحَدٌ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ كُلِّهَا قَالَ نَعَمْ وَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menginfaqkan dua jenis (berpasangan) dari hartanya di jalan Allah, maka dia akan dipanggil dari pintu-pintu surga; (lalu dikatakan kepadanya): “Wahai ‘Abdullah, inilah kebaikan (dari apa yang kamu amalkan). Maka barangsiapa dari kalangan ahlu shalat dia akan dipanggil dari pintu shalat dan barangsiapa dari kalangan ahlu jihad dia akan dipanggil dari pintu jihad dan barangsiapa dari kalangan ahlu shiyam (puasa) dia akan dipanggil dari pintu ar-Rayyan dan barangsiapa dari kalangan ahlu shadaqah dia akan dipanggil dari pintu shadaqah. Lantas Abu Bakar Ash-Shidiq radliallahu ‘anhu: “Demi bapak dan ibuku (sebagai tebusan) untukmu wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, jika seseorang dipanggil diantara pintu-pintu yang ada, itu sbeuah kepastian, namun apakah mungkin seseorang akan dipanggil dari semua pintu?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Benar, dan aku berharap kamu termasuk diantara mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 1764 dan Muslim no. 1705)
Adapun pintu surga, maka telah shahih dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنَّ مَا بَيْنَ الْمِصْرَاعَيْنِ مِنْ مَصَارِيعِ الْجَنَّةِ لَكَمَا بَيْنَ مَكَّةَ وَهَجَرٍ أَوْ كَمَا بَيْنَ مَكَّةَ وَبُصْرَى
“Demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya! Sungguh jarak antara dua pintu (yang ada daun pintunya) dari pintu-pintu surga seperti antara Makkah dengan Hajar, atau seperti antara Makkah dengan Bushra.” (HR. Muslim no. 287)
Dari Hakim bin Muawiah dari ayahnya bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَنْتُمْ تُوفُونَ سَبْعِينَ أُمَّةً أَنْتُمْ آخِرُهَا وَأَكْرَمُهَا عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَا بَيْنَ مِصْرَاعَيْنِ مِنْ مَصَارِيعِ الْجَنَّةِ مَسِيرَةُ أَرْبَعِينَ عَامًا وَلَيَأْتِيَنَّ عَلَيْهِ يَوْمٌ وَإِنَّهُ لَكَظِيظٌ
“Sungguh kalian ini mencukupkan tujuh puluh umat, akan tetapi kalian adalah ummat yang terbaik lagi mulia di antara mereka di hadapan Allah Azza wa Jalla. Jarak antara dua pintu (yang ada daun pintunya) di surga adalah sejauh perjalanan 40 tahun. Dan sungguh akan datang suatu hari dimana pintu itu akan penuh sesak.” (HR. Ahmad no. 19172).

Seputar Adab-Adab Berpuasa

1.    Menjauhi semua bentuk maksiat.
Dari Abu Hurairah  bahwa Nabi   bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ اَلزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ, وَالْجَهْلَ, فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan beramal dengannya serta kejahilan, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1903)Ash-Shan’ani -rahimahullah- berkata dalam Subulus Salam (4/126), “Hadits ini merupakan dalil akan haramnya dusta dan beramal dengannya, serta menunjukkan haramnya orang yang berpuasa berbuat kejahilan. Kedua hal ini juga diharamkan atas orang yang tidak berpuasa, hanya saja keharamannya lebih kuat terkhusus bagi orang yang berpuasa, sebagaimana lebih kuatnya pengharaman zina atas seorang yang sudah tua dan pengharaman sombong atas orang yang fakir.”2.    Membaca Al-Qur`an.Allah Ta’ala berfirman, “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (QS. Al-Baqarah: 185) Dan juga Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur`an) pada lailatul qadr.” (Al-Qadr: 1)Karenanya sudah sepantasnya seorang muslim menghabiskan waktunya di dalam bulan ramadhan untuk membaca Al-Qur`an, baik di dalam shalat maupun di luar shalat.
3.    Banyak bersedekah.Dari Ibnu Abbas dia berkata:“Rasulullah   adalah orang yang paling dermawan, dan saat dimana beliau menjadi lebih dermawan dari biasanya adalah pada bulan ramadhan tatkala Jibril menjumpai beliau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4.    Shalat lail/tarawih.

Dari Abu Hurairah  bahwa Nabi   bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا, غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang shalat (lail) pada bulan ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni seluruh dosanya yang telah berlalu.” (HR. Al-Bukhari no. 2009 dan Muslim no. 759)Dan secara khusus pada lailatul qadr beliau bersabda, “Barangsiapa yang shalat (lail) pada lailatul qadr karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni seluruh dosanya yang telah berlalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan dalam hadits yang shahih, Rasulullah   bersabda:
مَنْ صَلَّى مَعَ إِمَامِهِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Barangsiapa yang shalat bersama imamnya sampai selesai, maka akan dituliskan baginya pahala shalat semalam suntuk.”

5.    Memperbanyak doa.

Dari Abu Hurairah  bahwa Nabi   bersabda:

ثَلاَثَةٌ لاَ يُرَدُّ دُعَاؤُهُمْ: إِمَامٌ عَادِلٌ, الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ, وَدُعَاءُ الْمَظْلُوْمِ …
“Ada tiga orang yang tidak akan ditolak doa mereka: Imam yang adil, orang yang berpuasa hingga dia berbuka dan doa orang yang terzhalimi … .” al-hadits. (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’: 2/506)6.    Menjaga lisan.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi   bersabda:
إِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفَثْ وَلاَ يَصْخَبْ. إِذَا شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ
“Jika itu pada hari berpuasa salah seorang di antara kalian maka janganlah dia berbuat keji dan jangan pula berteriak. Jika ada seseorang yang mencelanya atau memukulnya maka hendaknya dia mengatakan: Sesungguhnya saya sedang berpuasa.”


Beberapa Hukum Seputar Puasa Ramadhan



Berikut beberapa hukum seputar puasa ramadhan secara ringkas:
a.    Tidak syah puasa wajib seperti puasa ramadhan atau qadha` ramadhan atau puasa nadzar kecuali jika dia meniatkannya sejak dari malam hari. Hanya saja niat itu tempatnya di hati sehingga tidak perlu melafazhkannya.
Dalil dari hal ini adalah hadits Hafshah dan Ibnu Umar radhiallahu anhuma:
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak memalamkan niatnya sebelum terbitnya fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Daud no. 2454, At-Tirmizi no. 730, An-Nasai (4/196), dan Ibnu Majah no. 1700)

b.    Wanita haid dan nifas diharamkan berpuasa secara mutlak, akan tetapi dia wajib menggantinya jika puasa yang dia tinggalkan itu adalah puasa wajib.
Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.” (HR. Muslim no. 508)
Adapun wanita yang mengalami istihadhah, maka dia tetap wajib berpuasa. Hal itu karena istihadhah berbeda dengan haid dari sisi sifat dan hukum.
c.    Jika ada orang yang berniat puasa dalam keadaan junub dan dia tidak mandi junub kecuali setelah subuh, maka puasanya syah. Sebagaimana jika wanita haid suci sesaat sebelum subuh lalu dia berniat puasa dan dia mandi setelah masuknya subuh, maka dia syah berpuasa.
Dalilnya adalah ucapan Aisyah radhiallahu anha:
إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ فِي رَمَضَانَ ثُمَّ يَصُومُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendapati waktu Subuh dalam keadaan junud karena jima’, bukan karena mimpi di bulan Ramadhan, kemudian beliau tetapi berpuasa.” (HR. Al-Bukhari no. 1796 dan Muslim no. 1867)
d.    Lelaki dan wanita tua yang sudah berat untuk berpuasa, maka mereka tidak wajib untuk berpuasa, demikian halnya orang sakit yang penyakitnya tidak mempunyai kemungkinan untuk sembuh. Mereka boleh berbuka akan tetapi mereka wajib menggantinya dengan fidyah, yaitu memberi makan 1 orang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa.
Ini adalah pendapat sebagian ulama, dan mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala:
وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Ibnu Abbas radhiallahu anhu menafsirkan ayat di atas, “Ayat ini turun memberikan keringanan kepada lelaki dan wanita tua yang tidak kuat berpuasa, maka keduanya memberikan makan setiap hari kepada 1 orang miskin.”
Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu anhu bahwa beliau lemah untuk berpuasa setahun sebelum wafat, maka beliau berbuka dan memerintahkan keluarganya untuk memberi makan 1 orang miskin setiap hari.
e.    Adapun orang yang sakit, maka:
•    Jika sakitnya ringan atau masih ada kemungkinan sembuh, maka dia boleh berbuka tapi dia wajib menggantinya di hari yang lain. Allah Ta’ala berfirman:
ومن كان مريضا أو على سفر فعُدة من أيام اُخر
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
•    Jika sakitnya tidak ada kemungkinan sembuh maka dia sejak awal sudah wajib membayar fidyah, berdasarkan pendapat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma di atas.
•    Jika penyakitnya datang tiba-tiba dan berlanjut hingga dia meninggal maka tidak ada kewajiban apa-apa pada keluarganya, tidan fidyah dan tidak pula qadha.
f.    Disunnahkan bagi orang yang ingin berpuasa untuk makan sahur.
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
“Bersahurlah kalian, karena didalam sahur ada barakah.” (HR. Al-Bukhari no. 1789 dan Muslim no. 1835)
g.    Disunnahkan untuk mengakhirkan makan sahur mendekati azan subuh.
Dari Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhuma dia berkata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً
“Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian Beliau pergi untuk melakanakan shalat. Aku bertanya: “Berapa antara adzan (Shubuh) dan sahur?”. Dia menjawab: “Sebanyak ukuran bacaan lima puluh ayat.” (HR. Al-Bukhari no. 1787)
h.    Disunnahkan bersahur dengan memakan korma atau meminum air putih.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
نِعْمَ سَحُورُ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ
“Sebaik-baik (makanan) sahur bagi seorang mukmin adalah kurma.” (HR. Abu Daud no. 1998)
Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ
“Makan sahur itu berkah, maka janganlah kalian tinggalkan meskipun salah seorang dari kalian hanya minum seteguk air, karena sesungguhnya Allah ‘azza wajalla dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur.” (HR. Ahmad no. 10664)
i.    Sebaliknya dengan berbuka puasa, maka dia dianjurkan untuk disegerakan setelah terbenamnya matahari.
Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Al-Bukhari no. 1821 dan Muslim no. 1838)
j.    Disunnahkan berbuka dengan memakan ruthob sebelum melaksanakan shalat maghrib, kalau tidak ada maka dengan korma, kalau tidak ada maka dengan meminum air.
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berbuka dengan beberapa ruthab (kurma yang belum masak) sebelum melakukan shalat, jika tidak dengan air maka dengan beberapa kurma, dan apabila tidak ada kurma maka beliau meneguk air beberapa kali.”(HR. Abu Daud no. 2009 dan At-Tirmizi no. 632)

FATAWA SYAIKH IBNU BAZ
SEPUTAR PERKARA YANG BOLEH DILAKUKAN SELAMA PUASA

1. Apa hukumnya menggunakan celak mata dan alat-alat kosmetik bagi wanita di siang hari ramadhan? Apakah ini membatalkan puasanya atau tidak?
Jawab: Celak sama sekali tidaklah membatalkan puasa baik bagi perempuan maupun laki-laki -menurut pendapat yang paling kuat dari dua pendapat di kalangan ulama-, hanya saja lebih afdhal bagi orang yang berpuasa kalau dia menggunakannya di malam hari. Demikian pula menggunakan apa yang bisa memperindah wajahnya berupa sabun, minyak dan selainnya yang mengenai kulit bagian luar, misalnya pacar (kuku) dan semacamnya. Semua itu tidak mengapa dipakai oleh orang yang berpuasa. Wallahu waliyyu at-taufiq.
2. Apakah orang yang berpuasa boleh memakai pasta gigi -dalam keadaan dia berpuasa- di siang hari ramadhan?
Jawab: Tidak ada masalah asalkan dia berhati-hati jangan sampai ada pasta gigi yang tertelan. Demikian pula disyariatkan bagi orang yang berpuasa untuk bersiwak baik di awal siang maupun di akhirnya. Sebagian ulama yang berpendapat makruhnya bersiwak setelah tergelincirnya matahari akan tetapi itu adalah pendapat yang lemah. Yang benarnya adalah tidak makruh, berdasarkan keumuman sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, “Siwak adalah penyuci mulut dan keridhaan di sisi Ar-Rabb.” (HR. An-Nasai dengan sanad yang shahih dari Aisyah). Juga berdasarkan sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, “Seandainya tidak memberatkan umatku niscaya saya akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali akan mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Hadits ini mencakup shalat zhuhur dan ashar, sedangkan kedua shalat ini dikerjakan setelah tergelincirnya matahari. Wallahu waliyyu at-taufiq.
3. Apakah boleh orang yang berpuasa untuk istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung, pent.) di siang hari ramadhan?
Jawab: Telah tsabit dari Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda kepada Laqith bin Shaburah,“Sempurnakanlah wudhu, selang-selingi di antara jari-jemari dan bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq kecuali kalau kamu sedang berpuasa.” (HR. At-Tirmizi dan Abu Daud) Beliau -shallallahu alaihi wasallam- memerintahkan dia untuk menyempurnakan wudhu kemudian bersabda, “Dan bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq kecuali kalau kamu sedang berpuasa.” Maka hadits ini menunjukkan bahwa orang yang berpuasa boleh berkumur-kumur dan istinsyaq akan tetapi dia jangan terlalu berlebihan karena dikhawatirkan airnya bisa sampai ke dalam tenggorokannya. Adapun berkumur-kumur dan istinsyaq, maka keduanya harus dikerjakan dalam wudhu dan mandi (junub) karena keduanya adalah kewajiban dalam kedua ibadah itu, baik bagi orang yang berpuasa maupun selainnya.
4. Syaikh berkata: Apa yang kamu sebutkan dalam suratmu bahwa kamu bermesraan dengan istrimu di siang hari ramadhan sampai-sampai kamu sudah duduk di antara keempat sisinya (posisi jima’, pent.) serta kamu memeluknya dan menciumnya sampai akhirnya kamu mengeluarkan madzi, akan tetapi kamu tidak sampai melakukan jima’ (penetrasi), dan bahwa hal ini terjadi selama enam atau tujuh hari. Lalu engkau bertanya apakah puasamu sah ?
Maka jawabannya adalah:
Permasalahan ini diperselisihkan oleh para ulama: Sebagian mereka berpendapat batalnya puasa dengan keluarnya madzi, dan sebagian lainnya berpendapatnya puasanya tetap sah. Yang benarnya –insya Allah-, puasanya sah dan tidak ada kewajiban qadha` atas kalian berdua. Akan tetapi sepantasnya bagi seorang mukmin untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan keluarnya madzi, seperti memeluk, mencium dan semacamnya. Telah shahih dari Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau pernah mencium istrinya dalam keadaan beliau berpuasa serta memeluk dalam keadaan beliau berpuasa. Aisyah –radhiallahu anha- berkata, “Akan tetapi beliau lebih kuat menahan syahwatnya daripada kalian.”Diriwayatkan juga dari beliau -shallallahu alaihi wasallam- bahwa ada dua orang yang bertanya kepada beliau tentang hukum mencium istri bagi orang yang berpuasa, maka beliau melarang salah seorang di antara mereka dan mengizinkan yang lainnya. Perawinya berkata, “Maka kami pun mengamati, ternyata orang yang beliau izinkan adalah orang yang sudah tua, dan ternyata orang yang beliau larang adalah seorang pemuda.” Dari sini para ulama mengambil petikan hukum bahwa mencium dan memeluk dimakruhkan bagi pemuda dan selain mereka dari kalangan orang-orang syahwatnya bisa muncul ketika melakukannya dan dia dikhawatirkan akan terjatuh ke dalam perkara yang haram (jima’). Adapun orang yang tidak dikhawatirkan padanya hal ini, maka dia tidak dimakruhkan melakukannya, wallahul muwaffiq
5. Kalau ada seseorang yang mencium istrinya atau bermesraan dengannya di siang hari ramadhan, apakah itu membatalkan puasanya atau tidak? Jelaskanlah kepada kami, semoga Allah memberikan ilmu kepadamu.
Jawab: Seseorang mencium istrinya, bermesraan dengannya dan memeluknya tanpa melakukan jima’ -dalam keadaan dia berpuasa- semuanya adalah boleh dan tidak ada masalah melakukannya, karena Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pernah mencium istrinya dalam keadaan berpuasa dan pernah juga memeluknya dalam keadaan berpuasa. Akan tetapi kalau dikhawatirkan dia akan terjatuh ke dalam apa yang Allah haramkan atasnya (jima’) karena dia adalah orang yang syahwatnya cepat tergerak, maka semua perbuatan ini dimakruhkan atasnya. Kalau dia melakukannya sampai dia mengeluarkan mani maka dia wajib untuk tetap menahan (berpuasa) tapi wajib untuk mengqadha` puasa hari itu (karena puasanya batal, pent.), dan tidak ada kewajiban kaffarat atasnya menurut mayoritas ulama. Adapun keluar madzi, maka itu tidak membatalkan puasa menurut pendapat yang paling kuat dari dua pendapat di kalangan ulama, karena yang menjadi hukum asal adalah syah dan tidak batalnya puasa (kecuali kalau ada dalil yang menetapkannya, pent.). Dan juga karena keluarnya mani termasuk perkara yang sulit untuk dihindari, wallahu waliyyu at-taufiq.
[Sumber: Diterjemah dari www.binbaz.org.sa/cat/133/fatawa].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberi komentar...