Kamis, 16 Februari 2012

Beberapa Perkataan ‘Ulama tentang Urgensi Samt


Beberapa Perkataan ‘Ulama tentang Urgensi Samt


Alhamdulillaah bini'matihi tatimmussholihat...
Sesungguhnya samt (perilaku/baiknya penampilan dalam perkara agama) merupakan akhlak agung yang dimiliki para Nabi. Akhlak ini akan memakaikan baju kewibawaan dan kemuliaan kepada pemiliknya, serta akan menghiasinya dengan keteguhan dan ketenangan.

Orang yang melihat perjalanan hidup para salaf akan mengetahui bahwa mereka lebih bersemangat untuk mempelajari perangai yang baik daripada ilmu yang merupakan kecerdasan dan kilauan akal.

Ibnu Muflih rahimahulloh berkata :
Dahulu majelis (Al Imam) Ahmad dihadiri sekitar 5000 orang atau lebih. Yang menulis kurang dari 500 orang. Adapun sisanya, belajar adab dan samt yang baik dari beliau.
(Al Adab Asy Syar'iyyah #2/12)

Ibnul Jauzi rahimahulloh berkata :
Sungguh dahulu ada sekelompok salaf yang sengaja pergi menuju seorang hamba yang sholih untuk melihat samt dan hadyu, bukan untuk mengambil ilmunya. Karena hadyu dan samt merupakan buah dari ilmunya.
(Shaidul Khathir hal.216)

Ibrahim An Nakha'i rahimahullah berkata :
Dahulu bila mereka mendatangi seseorang untuk mengambil ilmu darinya, mereka melihat terlebih dahulu kepada shalatnya, samt dan penampilannya. Setelah itu barulah mereka mengambil ilmu darinya.
(Al Adab Asy Syar'iyyah #2/149)

Janganlah engkau lupa bahwa samt dan ilmu merupakan pasangan. Samt tidaklah akan sempurna kecuali dengan ilmu, dan ilmu juga tidak akan sempurna kecuali dengan samt.
Allohua'lam

(Muqaddimah At Tajj al Mafquud - Abu 'Abdillah Faishal bin Abduh Qa'id Al Hasyidi)

Dulu, terkait dengan dakwah dan orang-orang yang mengembannya, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i, berkata : "Jika sebuah dakwah sudah tergiur dengan gemerlap dunia atau seorang da'i sudah lebih memilih kesenangan dunia ketimbang yang lain, ketahuilah, ini adalah tanda dari tanda-tanda penyimpangannya."
(Dikutip secara bebas; Prakata Penulis "Sejarah Salafi di Indonesia" - Abu Mujahid)

Minggu, 05 Februari 2012

RAMBU-RAMBU DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN DIANTARA AHLUS SUNNAH


RAMBU-RAMBU DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN DIANTARA AHLUS SUNNAH


Adab yang harus diperhatikan untuk menghadapi perselisihan yang terjadi di antara ahlus sunnah, diantaranya adalah ;
1.       Niatan yang tulus dan ingin mencari kebenaran.
Seorang penuntut ilmu seharusnya bersikap obyektif, ini mudah dalam teori tapi susah dalam praktek. Karena tidak sedikit orang yang lahiriyahnya seolah mencari kebenaran, tapi sejatinya dia sedang mengajak kepada dirinya dan syaikhnya.
Mungkin hal ini yang menjadikan sebagian orang ketika membantah dan berdiskusi tidak bisa ilmiah, namun semata ingin menjatuhkan lawannya dengan mengangkat masalah pribadi dan menggunakan bahasa celaan.
Hendaklah masing-masing menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai hakim yang memutuskan diantara mereka.
Alloh berfirman : “Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ ; 59)

2.       Bertanya kepada Ulama Ahlus Sunnah.
Alloh berfirman : “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. An-Anbiya ; 7)
                        
3.       Menghindarkan perselisihan beserta penyulutnya semampu mungkin.
Hal ini bisa bisa diwujudkan dengan ;
a.    Berbaik sangka terhadap Ulama dan para penuntut ilmu serta mengutamakan Ukhuwah Islamiyah di atas segala kepentingan.
b.    Apa yang dinyatakan / keluar dari mereka atau disandarkan kepada mereka dibawa kepada kemungkinan yang baik.
c.     Bila keluar dari mereka sesuatu yang tidak bisa dibawa kepada penafsiran yang baik maka dicarikan alasan yang tepat. Hal ini bukan dimaksudkan untuk menyatakan bahwa Ulama itu ma’shum atau tidak bisa salah, namun sebagai bentuk berbaik sangka kepada Ulama.
d.    Koreksi diri serta tidak memberanikan diri menyalahkan Ulama kecuali setelah penelitian yang mendalam dan kehati-hatian yang panjang.
e.    Membuka dada untuk menerima segala kritikan dari saudaramu dan menjadikannya sebagai acuan untuk ke depan yang lebih baik.
f.     Menjauhkan dari perkara yang bisa menimbulkan fitnah dan hura-hura.
g.    Komitmen dengan adab-adab Islam dalam memilih kata-kata yang bagus serta menjauhkan kata-kata yang tidak pantas.
(Lihat Adabul Khilaf, Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, hal. 44-47 dan An-Nush-hul Amin Asy-Syaikh Muqbil).
Telah terang atas kita rambu-rambu dalam menyikapi perbedaan di antara ahlus sunnah. Yang tak kalah pentingnya bahwa kita hendaknya selalu memohon kepada Alloh untuk ditunjuki kepada kebenaran pada perkara yang diperselisihkan. Kita yakin bahwa kita lemah dalam segala sisinya, hawa nafsu sering kita kedepankan sehingga jalan kebenaran seolah tertutup di hadapan kita. Kita menghormati para pendahulu kita dalam iman dan amal serta mendo’akan kebaikan untuk mereka.
“Wahai, Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului dengan keimanan, dan janganlah Engkau jadikan pada hati kami kedengkian kepada orang-orang yang beriman. Wahai, Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr ; 10).
Wallahu’alam…
Semoga bermanfaat…