Sabtu, 14 Juli 2012

Sholat Tarawih, 10 Malam Terakhir, Lailatul Qadar dan I'tikaf



Beberapa Hukum Shalat Tarawih

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ“Barangsiapa menegakkan Ramadlan karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari no. 36 dan Muslim no. 1266)Makna ‘iman dan mengharap pahala’ adalah membenarkan pahalanya dan menghendaki dengannya wajah Allah, serta berlepas dari riya` dan sum’ah.
Makna ‘diampuni dosa-dosanya yang telah lalu’ adalah semua dosa-dosa kecilnya akan ditutupi dan dia tidak akan disiksa karenanya.
Dari Aisyah radhiallahu anha isteri Nabi shallaallahu ‘alaihi wa sallam dia berkata:كَانَ النَّاسُ يُصَلُّونَ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ بِاللَّيْلِ أَوْزَاعًا يَكُونُ مَعَ الرَّجُلِ شَيْءٌ مِنْ الْقُرْآنِ فَيَكُونُ مَعَهُ النَّفَرُ الْخَمْسَةُ أَوْ السِّتَّةُ أَوْ أَقَلُّ مِنْ ذَلِكَ أَوْ أَكْثَرُ فَيُصَلُّونَ بِصَلَاتِهِ قَالَتْ فَأَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ ذَلِكَ أَنْ أَنْصِبَ لَهُ حَصِيرًا عَلَى بَابِ حُجْرَتِي فَفَعَلْتُ فَخَرَجَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ أَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ قَالَتْ فَاجْتَمَعَ إِلَيْهِ مَنْ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلًا طَوِيلًا ثُمَّ انْصَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ وَتَرَكَ الْحَصِيرَ عَلَى حَالِهِ فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّاسُ تَحَدَّثُوا بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْ كَانَ مَعَهُ فِي الْمَسْجِدِ تِلْكَ اللَّيْلَةَ قَالَتْ وَأَمْسَى الْمَسْجِدُ رَاجًّا بِالنَّاسِ فَصَلَّى بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ ثُمَّ دَخَلَ بَيْتَهُ وَثَبَتَ النَّاسُ قَالَتْ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا شَأْنُ النَّاسِ يَا عَائِشَةُ قَالَتْ فَقُلْتُ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ سَمِعَ النَّاسُ بِصَلَاتِكَ الْبَارِحَةَ بِمَنْ كَانَ فِي الْمَسْجِدِ فَحَشَدُوا لِذَلِكَ لِتُصَلِّيَ بِهِمْ قَالَتْ فَقَالَ اطْوِ عَنَّا حَصِيرَكِ يَا عَائِشَةُ قَالَتْ فَفَعَلْتُ وَبَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ غَافِلٍ وَثَبَتَ النَّاسُ مَكَانَهُمْ حَتَّى خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الصُّبْحِ فَقَالَتْ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ أَمَا وَاللَّهِ مَا بِتُّ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ لَيْلَتِي هَذِهِ غَافِلًا وَمَا خَفِيَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّي تَخَوَّفْتُ أَنْ يُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَاكْلَفُوا مِنْ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا
“Pada malam bulan Ramadhan, orang berbondong-bondong shalat di masjidnya Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap ada orang yang hafal Al Qur’an diikuti oleh lima atau enam orang, atau kurang atau lebih dari itu, mereka melakukan shalat dengan mengikuti shalatnya orang yang hafal Al Qur’an.” Ia berkata; “Pada malam itu, Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku supaya meletakkan tikar untuknya di atas pintu kamarku, aku pun mengerjakannya. Setelah shalat isya’ yang terakhir, beliau keluar.” Ia berkata; “Orang-orang yang ada di masjid pun mengerumuni beliau, lalu Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam dengan panjang bersama mereka. Setelah itu, Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam beranjak masuk (rumah) dan meninggalkan tikarnya seperti semula. Tatkala di pagi hari, orang-orang membicarakan mengenai shalatnya Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang yang bersamanya di masjid pada malam itu.” Ia berkata; “Ketika di sore hari, masjid sudah didesak-desaki oleh orang dan Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat isya’ bersama mereka. Setelah itu, beliau masuk rumahnya sedangkan orang-orang masih tetap di masjid.” Ia berkata; Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan kepadaku; ‘Apa yang terjadi dengan orang-orang tersebut wahai Aisyah? ‘ ia berkata; saya menjawab; “Wahai Rasulullah! Orang-orang telah mendengar shalatmu tadi malam dengan beberapa orang di masjid. Merekapun berkumpul untuk hal itu supaya engkau shalat bersama mereka.” Ia berkata; “Beliau menuturkan; ‘Lipat tikar mu itu wahai Aisyah! ‘ Aku pun mengerjakannya. Rasulullah tetap bermalam di rumah dan bukan karena beliau lupa. Sementara orang-orang tetap berada di masjid hingga Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk melakukan shalat shubuh.” Ia berkata; beliau bersabda: “Wahai manusia, demi Allah, segala puji bagi Allah, pada malam ini aku sengaja lalaikan. Bukannya karena aku tidak tahu tempat kalian, tapi aku khawatir (shalat tersebut) akan diwajibkan kepada kalian. Maka lakukanlah amal perbuatan yang kalian mampu, karena Allah tidak akan pernah bosan hingga kalian bosan.” (HR. Ahmad no. 25103)
Beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari hadits di atas:a.    Disyariatkannya shalat tarawih, dan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam mengerjakannya setelah shalat isya.b.    Yang menjadikan Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak shalat berjamaah tarawih bersama sahabat sampai akhir bulan adalah karena beliau khawatir shalat tarawih akan diwajibkan kepada mereka sehingga akan memberatkan mereka.Akan tetapi tatkala kekhawatiran ini sirna dengan wafatnya beliau, maka hukumnya kembali ke asal perbuatan beliau shallallahu alaihi wasallam, yaitu disyariatkan shalat tarawih berjamaah.c.    Semangat para sahabat radhiallahu anhum dalam beribadah dan dalam mencontoh Nabi mereka shallallahu alaihi wasallam.d.    Semangat beliau untuk memberikan kebaikan kepada umatnya dan sekaligus kasih sayang beliau kepada mereka sehingga beliau tidak ingin menyusahkan mereka. Allah Ta’ala berfirman:لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رءوف رحيم
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah:128)
Disunnahkan shalat tarawih bersama imam sampai selesai shalat witir, karena telah shahih dalam hadits Abu Dzar radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ“Sesungguhnya siapa saja yang shalat (malam) bersama imam hingga selesai, maka akan dicatat baginya seperti bangun (untuk mengerjakan shalat malam) semalam suntuk.” (HR. Abu Daud no. 1167, At-Tirmizi no. 734, An-Nasai no. 1347, dan Ibnu Majah no. 1317 dengan sanad yang shahih)Hadits ini berlaku umum untuk lelaki dan wanita, jika wanita ikut shalat tarawih di masjid. Hanya saja sudah dimaklumi bersama bahwa shalatnya wanita di rumahnya itu lebih utama karena hal itu lebih aman baginya dan lebih menjauhkannya dari fitnah. Dan kalau kita mengamati keadaan kaum muslimah yang keluar ke masjid untuk melaksanakan shalat tarawih maka sungguh menyuruh mereka shalat di rumah itu lebih mencegah terjadinya kemungkaran. Dari Aisyah radhiallahu anha isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dia berkata:لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ الْمَسَاجِدَ كَمَا مُنِعَهُ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ“Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat apa yang dilakukan oleh para wanita (sekarang), niscaya beliau akan melarang mereka untuk mendatangi masjid sebagaimana para wanita Bani Israil yang juga dilarang.” (Riwayat Malik dalam Al-Muwaththa` no. 418)Yang dimaksud adalah para wanita di zaman ini keluar shalat dengan memakai perhiasan, wangi-wangian, pakaian yang indah, dan semacamnya.
Kalau demikian keadaan para wanita di zaman tabi’in yang merupakan salah satu zaman terbaik, maka tidak tahu lagi bagaimana sikap Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika melihat para wanita di zaman ini, zaman yang jauh dari ilmu dan penuh dengan kejelekan. Wallahul Musta’an.

Amalan di 10 Hari Terakhir Ramadhan

Dari ‘Aisyah radhiallahu anha dia berkata:كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarung, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya “. (HR. Al-Bukhari no. 1884 dan Muslim no. 2008)Dalam lafazh yang lain:كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مَا لَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ“Pada sepuluh terakhir bulan Ramadlan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih giat beribadah melebihi hari-hari selainnya.” (HR. Muslim no. 2009)Ada dua penafsiran di kalangan ulama mengenai makna ‘mengencangkan sarung’:a.    Ini adalah kiasan dari memperbanyak ibadah, fokus untuk menjalankannya, dan bersungguh-sungguh di dalamnya.b.    Ini adalah kiasan dari menjauhi berhubungan dengan wanita. Ini adalah pendapat Sufyan Ats-Tsauri dan yang dirajihkan oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahumallah.Makna ‘menghidupkan malam’ adalah mengisinya dengan ibadah dibandingkan tidur yang merupakan saudara dari kematian.
Makna ‘membangunkan keluarga’ adalah mendorong dan memerintah keluarga untuk mengisi malam-malam itu dengan ibadah.
Pada dasarnya, membangunkan keluarga untuk shalat malam adalah hal yang disunnahkan. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ“Allah merahmati seseorang yang bangun malam kemudian shalat lalu membangunkan isterinya, apabila isterinya menolak, dia akan memercikkan air ke mukanya. Dan Allah merahmati seorang isteri yang bangun malam lalu shalat, kemudian dia membangunkan suaminya, apabila suaminya enggan, maka isterinya akan memercikkan air ke muka suaminya.” (HR. Abu Daud no. 1113, An-Nasai no. 1592, dan Ibnu Majah no. 1326)Akan tetapi hal ini lebih disunnahkan lagi di 10 terakhir ramadhan. Karena shalat lail mengandung banyak keutamaan sehingga tidak pantas bagi seorang muslim atau keluarganya untuk luput darinya. 10 hari terakhir juga adalah penutup bulan ramadhan, sementara setiap amalan itu tergantung dengan penutupnya. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’ad radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:وَإِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ
“Dan sungguh amalan itu ditentukan dengan penutupannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6117)
Kemudian, ibadah yang dianjurkan untuk dilakukan pada 10 hari ini tidak terbatas pada shalat lail saja, akan tetapi mencakup semua jenis ibadah seperti membaca Al-Qur`an, berdzikir, berdoa, bersedekah, dan selainnya.
Di antara keistimewaan 10 hari ini adalah di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan atau yang dikenal dengan malam al-qadr. Pada malam ini Al-Qur`an diturunkan, pada malam ini ditetapkan takdir untuk setahun berikutnya, dan pada malam ini terdapat banyak pengampunan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul.” (QS. Ad-Dukhan: 3-5)Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadlan dengan penuh keimanan dan mengharap (pahala dari Allah), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. Dan siapa yang menegakkan (shalat pada malam) pada lailatul Qadr dengan keimanan dan mengharap (pahala dari Allah), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Al-Bukhari no. 34 dan Muslim no. 1268)
Karena semua keutamaan inilah, sebagian ulama berpendapat bahwa 10 terakhir ramadhan itu lebih utama dibandingkan 10 hari pertama dzulhijjah. Wallahu a’lam.

Keutamaan Lailatul Qadr

Lailatul qadr adalah malam yang terbaik dalam setahun dan penuh dengan taufik. Orang yang berbahagia adalah orang yang dimudahkan oleh Allah dan bersungguh-sungguh dalam beramal saleh di malam itu. Hal itu dikarenakan semua amalan di malam itu pahala dan nilainya tidak sama seperti amalan yang dikerjakan di malam-malam lainnya.
Lailatul qadr adalah malam Al-Qur`an diturunkan dan Allah Ta’ala telah menyifatinya sebagai malam yang diberkahi, dan itu menunjukkan keutamaan dan keagungannya. Allah Ta’ala berfirman:
إنا أنزلناه في ليلة القدر
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur`an) pada lailatul qadr.” (QS. Al-Qadr: 1)
Allah Ta’ala juga berfirman:
إنا أنزلناه في ليلةٍ مباركة
“Sesungguhnya kami menurunkannya pada malam yang diberkahi.”(QS. Ad-Dukhan: 1)
Lailatul qadr terdapat di dalam bulan ramadhan, karena Al-Qur`an diturunkan di dalam bulan ramadhan. Sebagaimana pada firman Allah Ta’ala:
شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن
“Bulan ramadhan adalah bulan yang Al-Qur`an diturunkan padanya.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Di antara keutamaan lailatul qadr adalah bahwa setiap amalan di dalamnya, pahala dan ganjarannya lebih baik daripada 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadr. Allah Azza wa Jalla berfirman:
ليلة القدر خير من ألف شهر
“Lailatul qadr lebih baik daripada 1000 bulan.” (QS. Al-Qadr: 3)
1000 bulan setara dengan 83 tahun 4 bulan, dan Allah menyatakan bahwa amalan dalam lailatul qadr tidak setara dengannya akan tetapi lebih baik dan lebih banyak daripada itu. Allah juga tidak menyebutkan berapa kali lipat baiknya, bisa jadi lebih baik satu kali lipat, bisa jadi dua kali lipat, bisa jadi tiga kali lipat, dan seterusnya sesuai dengan kehendak Allah Ta’ala. Subhanallah.
Di antara keutamaan lailatul qadr, sangat banyak para malaikat yang turun di malam itu, karena banyaknya berkah di malam itu. Dan yang dimaksud dengan malaikat di sini adalah malaikat rahmat, sehingga mereka turun dengan membawa rahmat, kebaikan, dan keselamatan bagi siapa saja yang beramal saleh di malam itu. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang lailatul qodar:
إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ أَوْ تَاسِعَةٍ وَعِشْرِينَ إِنَّ الْمَلَائِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِي الْأَرْضِ أَكْثَرُ مِنْ عَدَدِ الْحَصَى
“Sesungguhnya dia itu adalah malam ketujuh atau dua puluh sembilan. Sesungguhnya pada malam itu jumlah malaikat di bumi lebih banyak daripada jumlah pasir.” (HR. Ahmad no. 10316)
Di antara keutamaan lailatul qadr adalah bahwa pada malam itu sama sekali tidak ada kejelekan sampai terbitnya fajar. Allah Ta’ala berfirman:
سلام هي حتى مطلع الفجر
“Dia adalah keselamatan sampai terbitnya fajar.” (QS. Al-Qadr: 5)
Nabi shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa sebab tidak adanya kejelekan di malam itu adalah karena setan-setan tidak ada yang keluar di malam itu. Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْبَوَاقِي مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَغْفِرُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ وَهِيَ لَيْلَةُ وِتْرٍ تِسْعٍ أَوْ سَبْعٍ أَوْ خَامِسَةٍ أَوْ ثَالِثَةٍ أَوْ آخِرِ لَيْلَةٍ. إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ كَأَنَّ فِيهَا قَمَرًا سَاطِعًا سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ لَا بَرْدَ فِيهَا وَلَا حَرَّ وَلَا يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ أَنْ يُرْمَى بِهِ فِيهَا حَتَّى تُصْبِحَ وَإِنَّ أَمَارَتَهَا أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيحَتَهَا تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ وَلَا يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ
“Lailatul qadar terjadi pada sepuluh malam terakhir, barangsiapa bangun di malam-malam itu dengan dorongan mencari pahalanya, Allah Tabaaroka wa Ta’ala mengampuni dosanya yang terdahulu dan yang berikutnya, ia terjadi pada malam ganjil; kesembilan, ketujuh, kelima, ketiga atau malam terakhir. Tanda-tanda lailatul qadar adalah malamnya yang terang seperti ada rembulan terbit, tenang, sunyi, tidak dingin, tidak panas, dan tidak dihalalkan bagi bintang-binatang untuk dilemparkan di malam itu hingga pagi. Dan di antara tanda-tandanya adalah di pagi harinya matahari terbit merata, pancaran cahayanya tidak menyilaukan, cahanya seperti bulan, dan tidak halal bagi setan untuk keluar di saat itu.” (HR. Ahmad no. 21702)
Di antara keutamaan lailatul qadr, di dalamnya ditetapkan takdir untuk tahun itu sampai tahun depannya, yang diistilahkan dengan nama at-taqdir as-sanawi (takdir tahunan). Allah Ta’ala berfirman:
فيها يفرق كل أمر حكيم
“Pada malam itu dipecah setiap urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad-Dukhan: 4)
Sebagian ulama salaf menyatakan bahwa pada malam itu ditakdirkan siapa yang meninggal pada tahun itu, siapa yang naik haji pada tahun itu, dan seterusnya dari masalah umur dan rezki. Karenanya disyariatkan untuk memperbanyak doa kebaikan pada malam itu, karena tidak ada yang bisa memperbaiki takdir kecuali doa. Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata: Wahai Rasulullah, apabila aku mengetahui malam apakah lailatul qadr, maka apakah yang aku ucapkan padanya?” Beliau menjawab:
قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Berdoalah dengan: ALLAAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN KARIIMUN TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU ‘ANNII (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi ampunan dan Maha Pemurah, Engkau senang memberikan ampunan, maka ampunilah aku).” (HR. At-Tirmizi no. 3435 dan dia berkata, “Ini adalah hadits hasan shahih.”)
Di antara keutamaan lailatul qadr adalah siapa saja yang shalat lail (tarawih) di malam itu atas dorongan keimanan dan mengharap pahala, maka semua dosanya yang telah lalu akan Allah ampuni. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang shalat pada lailatul qadar karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya. Dan barangsiapa yang berpuasa ramadhan karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dariNya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya”. (HR. Al-Bukhari no. 1768 dan Muslim no. 1268)
Adapun kapan lailatul qadr, maka dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar pada malam yang ganjil dalam sepuluh malam yang akhir dari ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 1878)
Hal ini juga didukung oleh hadits Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu anhu di atas.
Dari 10 hari terakhir ini, yang paling berpotensi menjadi lailatul qadr adalah malam ganjil pada 7 malam terakhir. Dari Ibnu’Umar radhiallahu ‘anhuma dia berkata bahwa ada beberapa orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyaksilan lailatul qadar terjadi di dalam mimpi mereka pada tujuh hari terakhir. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ
“Aku lihat mimpi-mimpi kalian tentang lailatul qadar semuanya sama menunjukkan pada tujuh malam terakhir. Karenanya siapa saja yang mau mencarinya, maka hendaklah dia mencarinya pada tujuh malam terakhir”. (HR. Al-Bukhari no. 1876 dan Muslim no. 1985)
Kemudian dari 7 hari terakhir ini, yang paling berpotensi menjadi lailatul qadr adalah malam 2 malam ganjil terakhir. Hal ini sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah riwayat Ahmad di atas.
Kemudian dari kedua malam ini, yang paling berpotensi adalah malam 27 ramadhan. Dari Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu dia berkata tentang malam lailatul qadr:
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُهَا هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِيَامِهَا هِيَ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ
“Demi Allah, saya benar-benar mengetahuinya. Di adalah suatu malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menunaikan shalat padanya. Tepatnya malam itu adalah malam ke-27.” (HR. Muslim no. 2000)
Ala kulli hal, setiap malam ganjil mempunyai potensi untuk terjadinya lailatul qadr, walaupun sebagiannya adalah yang lebih besar potensinya dibandingkan yang lain. Wal ‘ilmu ‘indallah.


Seputar Lailatul Qadr
Sebab Penamaan Lailatul Qadr
Imam Ath-Thabari menyebutkan beberapa sebab malam yang mulia ini dinamakan Lailatul Qadr:
Ada yang mengatakan karena pada malam itu Allah menetapkan qadr (takdir) hamba-hambaNya untuk tahun itu sampai tahun depannya.
Ada yang mengatakan karena malam itu mempunyai qadr (kedudukan yang tinggi) dan kemuliaan.
Dan ada yang mengatakan karena amalan-amalan pada malam itu mempunyai qadr (kedudukan) yang besar dan pahala yang tinggi.
[Tafsir Ath-Thabari surah Al-Qadr]
Apakah Lailatul Qadr Masih Ada Sampai Sekarang?
Kaum muslimin sepakat -kecuali segelintir di antara mereka yang tidak diperhitungkan penyelisihannya- bahwa Lailatul Qadr masih tetap ada sampai sekarang berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak.
Adapun hadits bahwa suatu ketika Nabi   pernah keluar untuk memberitahukan kapan Lailatul Qadr tapi beliau mendapati ada dua orang yang berselisih tentangnya. Lalu beliau bersabda, “Aku keluar untuk mengabarkan kepada kalian tentang Lailatul Qadr akan tetapi si fulan dan si fulan berselisih, sehingga dia pun diangkan oleh Allah.” (HR. Al-Bukhari dari Ubadah bin Ash-Shamit, Muslim dari hadits Abu Said) Maka maksud dari kata ‘diangkat’ di sini adalah diangkat ilmu tentang penentuan kapan Lailatul Qadr, bukan Lailatul Qadrnya yang diangkat (dicabut).
[Lihat Al-Majmu’: 6/402 dan Asy-Syarhul Mumti’: 6/491]
Kapan Lailatul Qadr?
Asy-Syaikh Abdullah Al-Bassam dalam Taudhihul Ahkam (3/247) menyebutkan ada empat pendapat dalam masalah ini:
1.    Lailatul Qadr hanya ada pada zaman Nabi   dan sudah diangkat setelahnya. Ini adalah pandapat yang tertolak lagi batil.
2.    Dia saat nishfu Sya’ban (pertengahan Sya’ban). Ini adalah pendapat yang lemah karena bertentangan dengan surah Al-Baqarah ayat 185 dan surah Al-Qadr ayat 1 yang menerangkan bahwa Al-Qur`an turun di bulan Ramadhan.
3.    Dia pada bulan ramadhan pada selain sepuluh terakhir. Ini pendapat yang kurang kuat karena Nabi   bersabda pada lanjutan hadits Ubadah dan Abu Said di atas:
وَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْرًا لَكُمْ. فَالْتَمِسُوْهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ
“Semoga hal itu lebih baik bagi kalian. Maka carilah dia pada malam 9, 7, 5 terakhir.”
Dalam sebagian riwayat, “Carilah dia di 10 malam terakhir.”
4.    Dia di 10 malam terakhir dari bulan Ramadhan, terutama pada malam-malam ganjil, terutama pada 7 malam terakhir, terutama pada malam 27 Ramadhan. Inilah pendapat yang kuat berdasarkan dalil-dalil yang akan kami sebutkan.
Adapun pada malam-malam ganjil pada 10 malam terakhir Ramadhan, maka berdasarkan sabda beliau  :
اِلْتَمِسُوْهَا فِي الْوِتْرِ مِنَ العْشْرِ الْأَوَاخِرِ
“Carilah dia (Lailatul Qadr) pada malam-malam ganjil dari 10 malam terakhir.”
Adapun terutama pada 7 malam terakhir, maka berdasarkan hadits Abdullah bin Umar bahwa beberapa orang sahabat Nabi  bermimpi bahwa Lailatul Qadr pada 7 malam terakhir, maka beliau bersabda:
أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ.فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَحَرِّيَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِر
“Saya melihat mimpi-mimpi kalian sepakat pada 7 malam terakhir. Karenanya barangsiapa di antara kalian yang hendak berjaga-jaga maka hendaknya dia berjaga-jaga pada 7 hari terakhir.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan dalam riwayat Muslim, “Carilah dia pada 10 malam terakhir. Siapa yang tidak sanggup atau lemah maka jangan sampai dia terkalahkan di 7 malam sisanya.”
Adapun terutama pada malam 27, maka berdasarkan hadits Ibnu Umar bahwa ada seorang lelaki yang berkata kepada Nabi , “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sulit bagi saya untuk melakukan qiyamullail, maka perintahkanlah kepada saya (untuk shalat) pada satu malam, semoga Allah memberikan taufiq kepadaku untuk mendapatkan Lailatul Qadr.” Maka beliau   bersabda:
عَلَيْكَ بِالسَّابِعَةِ
“Hendaknya kamu shalat pada malam ke-27.”
Juga berdasarkan riwayat yang mauquf dari Muawiah bin Abi Sufyan riwayat Abu Daud bahwa Lailatul Qadr itu pada malam ke-27. Bahkan sahabat Ubai bin Ka’ab bersumpah bahwa dia adalah malam ke-27. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama bahwa kemungkinan besar dia terjadi pada malam ke-27.
Hanya saja yang menjadikan kita tidak bisa memastikan bahwa Lailatul Qadr itu malam ke-27 adalah adanya beberapa riwayat lain yang menunjukkan selain dari itu. Seperti:
Hadits Abu Said riwayat Al-Bukhari dan Muslim menunjukkan dia pernah di malam ke-21. Sementara pada hadits Abdullah bin Unais riwayat Muslim disebutkan kalau dia terjadi pada malam ke-23. Karenanya Asy-Syafi’iyah menetapkan bahwa kemungkinan besar Lailatul Qadr terjadi pada salah satu dari dua mala mini.
Karenanya Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata setelah membawakan lebih dari 40 pendapat dalam masalah ini, “Yang paling kuat adalah bahwa dia berada pada malam ganjil dari 10 malam terakhir, dan bahwa dia berpindah-pindah (setiap tahun) sebagaimana yang bisa dipahami dari hadits-hadits dalam masalah ini.”
[Lihat Fathul Bari no. hadits 2020 dan Majmu’ Al-Fatawa: 25/284]
Siapakah Yang Mendapatkan Keutamaan Lailatul Qadr?
Ada dua pendapat dalam masalah ini:
1.    Yang dapat hanyalah yang beribadah di malam itu dalam keadaan dia mengetahui bahwa malam itu adalah Lailatul Qadr. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dan yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.
2.    Pahala yang dijanjikan tetap akan didapatkan bagi orang yang beribadah di dalamnya walaupun dia tidak mengetahui kalau malam itu adalah Lailatul Qadr. Ini adalah pendapat Ath-Thabari, Al-Muhallab, Ibnul Arabi, dan sekelompok ulama lainnya.
Yang kuat adalah pendapat yang kedua dan ini yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Karena Nabi  hanya bersabda, “Barangsiapa yang melakukan qiyamullail pada Lailatul Qadr karena iman dan mengharapkan pahala maka akan diampuni semua dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah) Jadi syaratnya hanya iman dan mengharapkan pahala, beliau tidak mempersyaratkan orang itu harus tahu bahwa malam itu adalah Lailatul Qadr.
[Lihat Al-Fath no. 2022, Subulus Salam: 4/192, dan Asy-Syarhul Mumti’: 6/497]
Tanda-Tanda Lailatul Qadr
Ada beberapa tanda yang tersebut dalam sunnah Rasulullah :
1.    Malam itu cuacanya sejuk, tidak panas dan tidak pula dingin.
Ini disebutkan dalam hadits Jabir, Ubadah bin Ash-Shamit dan Ibnu Abbas dengan derajat hasan lighairih.
2.    Turunnya hujan.
Ini disebutkan dalam hadits Abu Said Al-Khudri riwayat Al-Bukhari dan Muslim dan hadits Abdullah bin Unais riwayat Muslim.
3.    Pagi harinya matahari terbit dalam keadaan tidak mempunyai cahaya yang menyilaukan (lingkaran matahari bisa terlihat dengan mata telanjang, pent.)
Ini disebutkan dalam hadits Ubay bin Ka’ab riwayat Muslim.
Lihat Asy-Syarhul Mumti’ (6/498-499)
Wallahul Muwaffiq.


Hukum-Hukum I’tikaf

Di antara amalan sunnah di dalam bulan ramadhan adalah i’tikaf. I’tikaf adalah berdiam di dalam masjid guna menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Hukumnya adalah sunnah berdasarkan firman Allah Ta’ala:ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد“Dan janganlah kamu campuri mereka (istri-istri kalian) itu, sedang kalian beri’tikaf di dalam masjid-masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187)Ayat di atas memberikan beberapa hukum:a.    Disyariatkannya i’tikaf.b.    Tidak syah i’tikaf kecuali di masjid.
c.    Tidak boleh melakukan jima’ dalam keadaan i’tikaf walaupun di malam hari.
Asal i’tikaf disyariatkan kapan saja, akan tetapi waktu yang paling dianjurkan adalah 10 hari terakhir ramadhan berdasarkan kebiasaan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dari ‘Aisyah radhiallahu anha isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri Beliau beri’tikaf setelah kepergian beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 1886 dan Muslim no. 2004)Hadits ini juga menunjukkan bolehnya para wanita melakukan i’tikaf dengan syarat mereka jauh dari fitnah.Dari Shafiyah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dia bercerita:أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّمَا هِيَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَبْلُغُ مِنْ الْإِنْسَانِ مَبْلَغَ الدَّمِ وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَيْئًا“Bahwa dia datang mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masa-masa i’tikaf Beliau di masjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, dia berbicara sejenak dengan Beliau lalu dia berdiri untuk pulang. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdiri untuk mengantarnya hingga ketika sampai di pintu masjid yang berhadapan dengan pintu rumah Ummu Salamah, ada dua orang dari kaum Anshar yang lewat lalu keduanya memberi salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada keduanya: “Kalian berdua jangan tergesa-gesa. Sungguh wanita ini adalah Shafiyah binti Huyay”. Maka keduanya berkata: “Maha suci Allah, wahai Rasulullah”. Kejadian ini menjadikan berat bagi keduanya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Sesungguhnya setan mendatangi manusia lewat aliran darah dan aku khawatir setan telah memasukkan sesuatu pada hati kalian berdua.” (HR. Al-Bukhari no. 1894)Hadits ini juga menunjukkan boleh wanita mengunjungi mahramnya yang tengah i’tikaf, dan bahwa hal itu tidak mengurangi nilai i’tikaf seseorang.Dan telah shahih dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu:كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Al-Bukhari no. 1903)
I’tikaf syah dilakukan di semua masjid berdasarkan keumuman ayat di atas. Hanya saja i’tikaf yang paling utama adalah yang dilakukan di salah satu dari 3 masjid suci kaum muslimin, sebagaimana shalat yang paling utama adalah shalat yang dilakukan pada salah satu dari ketiganya.
Dan siapa saja yang ingin i’tikaf di 10 hari terakhir maka hendaknya dia masuk ke tempat i’tikafnya sebelum matahari terbenam pada tanggal 21 ramadhan dan dia keluar darinya setelah terbenamnya matahari di malam id.
I’tikaf batal dengan keluar dari masjid tanpa udzur. Dan di antara bentuk udzur adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia (seperti makan, minum, mandi, buang air, dan semacamnya) jika memang semua itu tidak bisa dilakukan di masjid. Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila beri’tikaf, maka dia mendekatkan kepalanya kepadaku, lalu aku menyisirnya (dari luar masjid), dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk memenuhi kebutuhan manusia pada umumnya.” (HR. Muslim no. 445)Hadits ini juga menunjukkan bolehnya orang yang i’tikaf mengeluarkan sebagian anggota tubuhnya dari masjid dan itu tidak membatalkan i’tikafnya.I’tikaf juga batal jika seseorang membatalkan niatnya untuk i’tikaf berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ“Sesungguhnya setiap amalan itu syah atau tidaknya tergantung dengan niat-niatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 3530)
Dan juga batal dengan seseorang melakukan jima’ berdasarkan ayat dalam surah Al-Baqarah di atas.
Boleh bagi orang yang i’tikaf untuk menanyakan keadaan orang yang sakit -sambil dia berlalu- tanpa dia harus berhenti di dekatnya. Hal ini berdasarkan ucapan Aisyah radhiallahu anha:إِنْ كُنْتُ لَأَدْخُلُ الْبَيْتَ لِلْحَاجَةِ وَالْمَرِيضُ فِيهِ فَمَا أَسْأَلُ عَنْهُ إِلَّا وَأَنَا مَارَّةٌ
“Sungguh, aku masuk rumah untuk suatu keperluan sementara di dalam ada orang yang sedang sakit, dan aku tidak bertanya tentangnya kecuali sambil lewat saja.” (HR. Muslim no. 446)
Disunnahkan untuk menjalankan i’tikaf dengan sungguh-sungguh sesuai dengan asal pensyariatannya yaitu berdiam di masjid untuk ibadah. Karenanya hendaklah orang yang beri’tikaf menyibukkan dirinya dengan ibadah seperti shalat, membaca Al-Qur`an, dzikir dan selainnya, serta menjauhkan dirinya dari semua urusan duniawiah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberi komentar...