Sabtu, 13 Oktober 2012

Fatwa-Fatwa Seputar Idul Kurban

Fatwa-Fatwa Seputar Idul Kurban

Fatwa-fatwa Seputar Idul Kurban (1)
Para pembaca yang budiman, berikut ini fatwa-fatwa seputar Idul Kurban yang penting diketahui oleh kaum muslimin, terkhusus bagi saudara-saudara yang hendak berkurban. Fatwa-fatwa tersebut kami sajikan dalam bentuk soal-jawab agar lebih menyentuh masing-masing permasalahan. Wallahul muwaffiq.
Soal: Apa saja yang dilarang bagi orang yang hendak berkurban?
Jawab: Disyari’atkan bagi orang yang hendak berkurban ketika telah muncul hilal bulan Dzulhijjah (tanggal 1 Dzulhijjah) agar tidak memotong rambut, kuku, dan kulitnya sampai binatang kurbannya disembelih. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:
“Apabila kalian telah melihat hilal bulan Dzulhijjah (tanggal 1 Dzulhijjah) sedangkan salah seorang diantara kalian hendak berkurban, maka hendaknya ia menahan diri dari memotong rambut dan kukunya.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain:
“Apabila telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan salah seorang diantara kalian hendak berkurban, maka janganlah ia memotong rambut dan kulitnya sedikitpun.” (HR. Muslim)
Larangan ini hanya berlaku bagi orang yang akan berkurban, dan tidak berlaku bagi keluarganya, baik yang menyembelih sendiri atau yang mewakilkan kepada orang lain. (Lihat Fatawa Lajnah Da’imah no. 2194)
Soal: Apa saja syarat-syarat hewan kurban?
Jawab: Syarat-syarat hewan kurban ada empat;
Syarat pertama: hewan kurban harus dari jenis hewan yang telah ditetapkan dalam syari’at untuk dijadikan kurban, yaitu unta, sapi, dan kambing. Oleh karenanya, jika berkurban berupa kuda, maka kurban tersebut tidak sah. Hal ini karena kuda bukan dari jenis yang ditetapkan syari’at sebagai hewan kurban, walaupun bisa jadi harganya lebih mahal dari unta, sapi, atau kambing. Dalilnya adalah sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”
Syarat kedua: hewan kurban telah mencapai batasan umur minimal yang ditetapkan syari’at. Jika kambing jenis domba, maka telah mencapai usia setengah tahun. Jika kambing kacang/jawa (ma’iz) telah genap berumur setahun, sedangkan sapi telah genap berumur dua tahun, dan unta telah genap berumur lima tahun. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Janganlah kalian menyembelih hewan kurban, kecuali bila hewan tersebut telah mencapai usia musinnah (unta berumur lima tahun, sapi berumur dua tahun, kambing berumur satu tahun). Namun jika kalian kesulitan, maka silahkan menyembelih domba yang telah berumur enam bulan (jadza’ah).”
Syarat ketiga: hewan kurban tersebut selamat dari cacat yang membuatnya tidak layak untuk dikurbankan. Hal ini telah disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Empat bentuk cacat yang tidak boleh ada pada hewan kurban: buta sebelah matanya yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya dan kurus yang tidak bersumsum.” (HR. Abu Dawud)
Keempat cacat tersebut menghalangi keabsahan hewan kurban. Bila seseorang menyembelih hewan kurban berupa kambing yang matanya buta sebelah dan jelas butanya, maka kurbannya tidak diterima. Bila ia menyembelih hewan kurban berupa kambing yang sakit yang jelas sakitnya, maka kurbannya tidak diterima. Bila ia menyembelih hewan kurban berupa kambing yang pincang yang jelas pincangnya, maka kurbannya tidak diterima. Bila ia menyembelih hewan kurban berupa kambing yang kurus sekali (yang tidak bersumsum), maka kurbannya tidak diterima. Begitu pula yang lebih parah dari cacat yang telah disebutkan di atas, seperti buta kedua matanya, putus kakinya, tertimpa sesuatu yang menjadi penyebab kematiannya seperti induk yang kesulitan dalam melahirkan anak -kecuali bila melahirkan dengan selamat-. Begitu pula dengan yang tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk/tertusuk benda tajam, atau digigit hewan buas. Bila seseorang berkurban dengan hewan kurban yang semisal ini, maka kurbannya tidak diterima. Karena yang demikian itu lebih tidak pantas/tidak layak untuk dipersembahkan sebagai kurban. Adapun cacat-cacat lain yang lebih ringan dari yang disebutkan di atas, seperti telinganya terpotong, tanduknya patah, ekornya putus, maka berkurban dengan hewan kurban seperti ini masih diterima. Meskipun padanya terdapat sedikit cela/cacat. Tidak ada perbedaan antara yang terpotong, patah, atau putus sedikit ataupun banyak. Sampai-sampai seandainya tanduk hewan kurban tersebut patah keseluruhannya pun masih diterima/sah bila berkurban dengannya. Begitu pula dengan telinga atau ekornya. Namun, semakin sempurna hewan kurban tersebut, semakin afdhal (utama) untuk dipersembahkan sebagai hewan kurban.
Syarat yang keempat: Penyembelihan hewan kurban tersebut harus dilaksanakan di waktu yang telah ditentukan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, yakni dari setelah shalat Idul Adha sampai akhir hari tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah-red). Batas waktunya selama 4 (empat) hari, yaitu mulai setelah shalat Idul Adha dan tiga hari setelahnya. Barangsiapa menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat Id, maka kurbannya tidak sah, walaupun ia seorang yang belum mengerti tentang waktu sahnya penyembelihan kurban. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam saat beliau berkhutbah: “Barangsiapa menyembelih hewan kurban sebelum shalat Id, maka kurbannya tidak sah.” Kemudian berdirilah seorang pria yang bernama Abu Burdah bin Niyar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berkurban/menyembelih hewan kurbanku sebelum shalat Id,” maka beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab: “Kambingmu itu kambing sembelihan biasa,” beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda: “Barangsiapa menyembelih hewan kurban sebelum shalat, maka kurbannya tidak sah,” dan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda: “maka hendaklah ia menyembelih yang lain sebagai gantinya (di waktu yang sah untuk menyembelih-red).” Barangsiapa menyembelih hewan kurban setelah berakhirnya hari tasyriq, maka kurbannya tidak sah. Hal itu karena ia menyembelih diluar waktunya. Jadi syarat-syarat penyembelihan hewan kurban adalah sebagai berikut:
1. dari jenis binatang ternak (yang telah ditetapkan dalam syari’at untuk menyembelih dengannya-red), yaitu unta, sapi, dan kambing.
2. telah mencapai umur yang ditetapkan syari’at: yaitu mencapai usia musinnah yaitu 5 tahun untuk unta, 2 tahun untuk sapi, dan 1 tahun untuk kambing kacang/jawa (ma’iz); atau usia jadza’ah (6 bulan) untuk domba.
3. selamat dari empat cacat yang telah disebutkan di atas.
4. dilakukan pada waktu yang telah ditentukan. Adapun yang lebih mencocoki syari’at dalam masalah jumlah hewan yang akan dikurbankan adalah tidak berlebihan jumlahnya. Sebagaimana telah dicontohkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan para salafush shalih, seorang muslim berkurban untuk dirinya sendiri, dan keluarganya dengan satu hewan kurban. Namun pada masa ini, seorang istri datang kepada suaminya seraya mengatakan: “Aku ingin berkurban”, kemudian datang putrinya mengatakan: “Aku ingin berkurban”, lalu datang saudarinya mengatakan: “Aku ingin berkurban”, sehingga dalam sebuah rumah tersebut terkumpul beberapa kurban. Hal ini menyelisihi apa yang telah dilakukan para salafush shalih. Sungguh, manusia termulia, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, tidaklah berkurban kecuali dengan satu hewan kurban untuk dirinya dan keluarganya. Padahal, sebagaimana yang telah diketahui, beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memiliki sembilan istri (yang berarti beliau juga memiliki sembilan rumah). Bersamaan dengan itu, tidaklah beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berkurban kecuali dengan satu hewan kurban, untuknya dan keluarganya. Dan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berkurban satu lagi untuk ummatnya. (Lihat Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin dalam Liqo` Al-Bab Al- Maftuh)
Soal: Apa perbedaan antara takbir mutlak dan takbir muqayyad pada hari Idul Fitri dan Idul Adha? Kapan dimulainya dan kapan berakhirnya? Tolong beri kami penjelasan! Semoga Allah membalas kebaikanmu.
Jawab: Perbedaan antara takbir mutlak dan takbir muqayyad ialah, bahwa takbir mutlak dilakukan pada setiap waktu, sedangkan takbir muqayyad dilakukan setiap selesai dari shalat lima waktu pada hari raya Idul Adha saja. Takbir mutlak pada hari raya Idul Adha dimulai semenjak masuk bulan Dzulhijjah sampai akhir hari tasyrik yaitu pada hari ketiga setelah Id. Adapun pada hari raya Idul Fitri semenjak masuk bulan Syawwal sampai ditegakkannya shalat Idul Fitri. Takbir muqayyad sebagaimana dikatakan para ulama, dilakukan setelah selesai shalat fajar (subuh) pada hari ‘Arafah sampai berakhirnya hari-hari tasyrik. (Ditulis pada tanggal 2 Dzulhijjah 1415H. Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al- ‘Utsaimin no. 5831)
Soal: Siapakah yang berhak untuk diberi daging hewan kurban, dan apa hukumnya memberikan daging kurban kepada orang yang menyembelihkan hewan kurban tersebut? Bagaimana hukumnya menunda pembagian daging kurban (bukan pada hari disembelihnya hewan kurban tersebut)?
Jawab: Orang yang berkurban hendaklah memakan sebagian dari hasil sembelihannya. Sebagian dari hasil sembelihannya yang lain hendaknya diberikan kepada orang-orang fakir miskin agar mereka dapat menutupi kebutuhan pada hari itu. Juga kepada karib kerabat sebagai perwujudan silaturrahim (menyambung tali persaudaraan). Kemudian kepada tetangga agar timbul kerukunan dalam bertetangga dan saling tolong menolong. Serta kepada teman-teman untuk mempererat dan memperkuat tali persaudaraan sesama muslim. Bersegera dalam memberikan hasil sembelihan di hari raya Idul Adha lebih baik dibanding menundanya sampai hari kedua dan setelahnya. Karena yang demikian dapat melegakan, dan memberikan kegembiraan kepada mereka di hari itu. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah ‘Azza wa Jalla
وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ
: “Bersegeralah menuju ampunan dari Rabb kalian dan (bersegera) menuju surga yang seluas langit dan bumi.” (Ali Imron: 133).
Juga firman-Nya
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ
(yang artinya): “Maka bergegaslah melakukan kebaikan.” (Al- Baqarah: 148)
Tidak mengapa memberikan daging hasil sembelihan pada orang yang menyembelihkan hewan kurban, namun jangan diniatkan sebagai imbalan untuknya. Jika ingin memberi imbalan, maka hendaknya diberi dari selain daging hasil sesembelihan. Wa billahit taufiq. (Lihat Fatawa Lajnah Da’imah no. 5612)
Wallahu ta’ala a’lam bish showab
Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/?p=534
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=552)
Fatwa-fatwa Seputar Idul Kurban (2)
Para Pembaca rahimakumullah, edisi kali ini merupakan kelanjutan dari edisi sebelumnya dengan judul Fatwa-fatwa Seputar Idul Kurban. Kami angkat beberapa permasalahan penting terkait dengan beberapa jenis ibadah yang bisa diamalkan di bulan Dzulhijjah. Selamat menyimak dan semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
Soal: Apa hukum berpuasa pada sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah?
Jawab: Puasa pada hari-hari tersebut adalah sunnah (mustahab), karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menganjurkan dan mendorong umatnya untuk melakukan amalan-amalan sholih pada hari-hari tersebut, dan puasa termasuk bagian dari amalan-amalan sholih. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:
“Tidak ada hari-hari dimana amalan sholih didalamnya lebih Allah cintai daripada sepuluh hari (pertama) bulan Dzulhijjah.” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bukan pula jihad di jalan Allah? Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Bukan pula jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar (untuk berjihad di jalan Allah-red) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali darinya (jiwa dan hartanya) sedikitpun.” (HR. Al-Bukhari no. 969, dan At-Tirmidzi no. 757)
Walaupun dahulu Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak sering berpuasa pada hari-hari tersebut. Telah diriwayatkan bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berpuasa pada hari-hari tersebut karena kekhawatiran beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam akan dianggap wajib oleh umatnya. Diriwayatkan pula bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak berpuasa pada hari-hari tersebut. Akan tetapi, yang lebih utama menjadi patokan adalah sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, karena sabda beliau lebih didahulukan daripada perbuatan. Jika terkumpul antara perkataan dan perbuatan, maka keduanya saling menguatkan. Oleh karena itu, perkataan terhitung sebagai dalil tersendiri, perbuatan sebagai dalil tersendiri, dan taqrir (persetujuan) pun sebagai dalil tersendiri. Yang paling utama dan paling kuat sebagai hujjah (dalil) adalah perkataan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, kemudian perbuatan beliau, dan setelahnya persetujuan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidak ada hari-hari yang amalan sholih didalamnya lebih Allah cintai daripada hari-hari ini, yakni sepuluh hari (pertama bulan Dzulhijjah).” (HR. Al-Bukhari no. 926, At-Tirmidzi no.757, Abu Dawud no. 2438, Ibnu Majah no. 1727, Ahmad 1/224, dan Ad-Darimi no. 1773)
Apabila seseorang berpuasa atau bershadaqah pada hari-hari tersebut, ia berada dalam kebaikan yang sangat besar. Disyari’atkan pula pada hari-hari tersebut untuk memperbanyak takbir (Allahu Akbar), tahmid (Alhamdulillah), dan tahlil (Laa ilaha illallah), dengan dalil sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:
“Tidak ada hari-hari yang lebih besar di sisi Allah, dan lebih dicintai-Nya dengan melakukan amalan-amalan sholih didalamnya daripada sepuluh hari (awal bulan Dzulhijjah) ini. Oleh karenanya, perbanyaklah untuk bertahlil, bertakbir, dan bertahmid.” (HR. Ahmad 2/75)
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibn Baz 14/419)
Hukum-hukum Sholat Dua Hari Raya
Soal: Apabila seorang makmum tertinggal satu rakaat pada sholat Id, apakah wajib untuk bertakbir beberapa kali sebagaimana takbirnya imam sebelum membaca Al-Fatihah ataukah tidak?
Jawab: Barangsiapa yang tertinggal sholat Id atau sholat Istisqo` (meminta hujan), maka disukai (mustahab/sunnah) baginya untuk menggantinya (mengqodho`) sebagaimana tata cara sholat Id dilakukan. Jika tertinggal seluruhnya, maka hendaknya ia mengganti (mengqodho`) sholat seluruhnya sebagaimana tata cara sholat Id, termasuk diantaranya melakukan takbir-takbir tambahan setelah takbiratul ihram. Demikian juga bila ia terlewat sebagiannya, seperti tertinggal rakaat pertama misalnya, maka hendaknya ia tetap sholat mengikuti imam sampai imam tersebut mengucapkan salam. Setelah itu, barulah ia menyempurnakan sholatnya sesuai jumlah rakaat yang ia tertinggal, dan dilakukan sebagaimana tata cara sholat Id, yaitu dengan melakukan takbir-takbir setelah takbiratul ihram. Hal ini karena tata cara qodho` sholat Id (secara sendirian) seperti tata cara ketika menunaikannya (secara berjamaah). Wallahu a’lam. (Lihat Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan no. 143)
Soal: Apa hukum orang yang tertinggal sholat Idul Fitri atau Idul Adha? Apakah ia menggantinya (qodho`) sebagaimana tata cara sholat Id atau cukup dengan melakukan sholat 2 (dua) rakaat saja atau apa yang mesti ia dilakukan? Kami mohon fatwanya. Jazakumullohu khoiron (Semoga Allah membalas kebaikan Anda).
Jawab: Barangsiapa yang tertinggal sholat Id, maka boleh meng-qodho`-nya (menggantinya) dengan sholat 2 (dua) rakaat, yang ia bertakbir dengan takbir-takbir tambahan setelah takbiratul ihram pada rakaat yang pertama, serta setelah takbir untuk berdiri dari sujud pada rakaat yang kedua. Juga dengan mengeraskan bacaan sholat, baik ia sholat sendirian, maupun berjama’ah. (Lihat Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan 144)
Soal: Apakah kita boleh berpuasa dua hari dalam rangka puasa hari Arafah, karena kami mendengar di radio bahwasanya hari Arafah jatuh besok bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah di tempat kami?
Jawab: Hari Arafah adalah hari dimana para jama’ah haji melakukan wukuf di padang Arafah. Disyariatkan untuk berpuasa pada waktu itu bagi seorang muslim yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji. Oleh karena itu, apabila anda ingin berpuasa, maka hendaklah anda berpuasa pada hari tersebut. Dan bila anda telah berpuasa sehari sebelum hari tersebut, maka tidak mengapa. Dan jika anda telah berpuasa sembilan hari mulai dari awal bulan Dzulhijjah, maka hal itu adalah baik. Hal ini dikarenakan hari-hari tersebut adalah hari-hari yang mulia yang berpuasa pada hari-hari tersebut disunnahkan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidaklah ada hari-hari yang amalan sholih didalamnya lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala daripada sepuluh hari (di awal bulan Dzulhijjah) ini.” Dikatakan: “Wahai Rasulullah, bukan jihad di jalan Allah (yang lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala)? Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab:
“Bukan jihad di jalan Allah. Melainkan (bila ada) seseorang yang keluar (untuk berjihad di jalan Allah) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dari itu semua sedikitpun.” (HR. Ahmad 1/224 no.338, Al-Bukhari no. 969, Abu Dawud no. 2438, At-Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan yang selainnya)
Wa billahit taufiq wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa aalihi wa shohbihi wa sallam. (Lihat Soal Pertama dari Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah no. 4052)
Soal: Aku mendapati pada kitab Zadul Ma’ad karya Al-Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah pernyataan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dahulu biasa melaksanakan puasa pada ayyaamul bidh, yaitu hari ke-13, 14, dan 15 pada setiap bulan hijriyah. Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berpuasa pada hari-hari tersebut, baik ketika beliau safar (berpergian jauh) ataupun ketika sedang bermukim (tidak dalam keadaan safar). Namun, pada tempat lain (dalam kitab tersebut -red) aku mendapati pernyataan bahwa hari-hari tasyriq adalah hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa padanya. Padahal kita mengetahui bahwa akhir dari hari tasyriq adalah tanggal 13 (termasuk salah satu dari ayyaamul bidh yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berpuasa padanya-pen). Maka bagaimana kita menggabungkan kedua pernyataan ini?
Jawab: Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menghasung dan menganjurkan (umatnya) agar berpuasa selama 3 (tiga) hari pada setiap bulannya, baik (3 hari tersebut-pen) di awal bulan, pertengahan bulan, atau di akhir bulan. Namun, yang paling utama, 3 (tiga) hari tersebut adalah pada ayyaamul bidh yang bertepatan dengan tanggal 13, 14, dan 15 pada tiap bulan hijriyah. Hari-hari tersebut adalah yang paling utama -untuk berpuasa sunnah padanya-. Walaupun tidak mengapa apabila seseorang berpuasa selain pada hari-hari tersebut, dan ia sudah termasuk menunaikan syariat yang insya Allah akan mendapatkan pahala.
Adapun hari-hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, maka telah terdapat dalil tentang pengharaman puasa pada hari-hari tersebut. Hal tersebut dikarenakan hari tasyriq masih merupakan hari raya dan hari-hari untuk (merayakan hari raya dengan) makan, minum, dan berdzikir kepada Allah. Sehingga puasa pada hari-hari tersebut diharamkan, kecuali bagi seseorang yang tidak mampu membayar denda karena telah melaksanakan Haji yang Tamattu’ atau Qiron, maka ia wajib untuk berpuasa selama tiga hari ketika masih melaksanakan haji, walaupun hari-hari tersebut bertepatan dengan hari-hari tasyriq. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada hari-hari tasyriq, kecuali bagi orang yang tidak mampu membayar denda pada Haji Tamattu’ atau Qiron. Oleh karena itu, hal ini menjadi sebuah kekhususan yang dikhususkan dari keumuman larangan puasa. Namun, beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak berpuasa pada hari-hari tersebut termasuk ketika bertepatan dengan ayyaamul bidh. (Lihat Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan no. 228)
Soal: Apakah diperbolehkan bagi seseorang untuk berpuasa pada hari-hari putih (ayyaamul bidh) yang bertepatan dengan hari tasyriq?
Jawab: Yang bertepatan dengan hari tasyriq adalah hari ke-13 bulan Dzulhijjah, dikarenakan hari-hari putih (ayyaamul bidh) itu diawali pada tanggal 13 pada setiap bulannya, dan berakhir pada tanggal 15, maka tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk berpuasa pada tanggal 13 Dzulhijjah, dikarenakan hari tersebut termasuk hari tasyriq. Rasul n telah melarang atau mengharamkan puasa bagi seseorang kecuali bagi yang wajib membayar denda pada Haji Tamattu’ dan Qiron.
Adapun yang disunnahkan adalah puasa tiga hari pada setiap bulannya. Tiga hari tersebut tidak ditentukan atau diharuskan pada hari-hari putih. Hanya saja Rasulullah n menjadikan puasa tersebut paling afdhol dikerjakan pada hari-hari putih. Apabila hari tersebut tidak bertepatan dengan sebuah kenangan seperti pada keadaan tadi. (Lihat Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan no. 229)
Soal: Berkaitan dengan ayyaamul bidh, apakah benar bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam samasekali tidak pernah meninggalkan puasa pada hari-hari tersebut, baik ketika beliau safar ataupun tinggal (mukim)? Atau apakah puasa tersebut hanyalah puasa sunnah?
Jawab: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dahulu senantiasa melakukan puasa sunnah. Bahkan beliau selalu berusaha memperbanyak puasa (sunnah). Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam -dikarenakan seringnya berpuasa- sampai-sampai dikatakan tidak pernah berbuka (berpuasa terus-menerus). Namun, beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga berbuka atau tidak berpuasa sampai-sampai dikatakan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak atau jarang pernah berpuasa. Oleh karena itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa memperbanyak puasa sunnah, baik ketika beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam safar ataupun mukim. Namun, apabila dikatakan bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa berpuasa ayyamul bidh, maka aku tidak mengetahui keterangan tentangnya sampai sekarang ini sedikitpun. (Lihat Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan no. 230)
Wallahu a’lam bishshowab.
(Sumber: http://www.salafy.or.id/fatwa-fatwa/fatwa-fatwa-seputar-idul-kurban/ dari http://www.buletin-alilmu.com/?p=536 dan http://www.assalafy.org/mahad/?p=555)

Puasa Arafah dan Idul Adha, Ikut Pemerintah atau Arab Saudi ?

Puasa Arafah dan Idul Adha, Ikut Pemerintah atau Arab Saudi?

Tahun ini, pemerintah Indonesia secara resmi menetapkan bahwa hari raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1431 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 17 November 2010 Masehi, berbeda dengan pemerintah Arab Saudi yang menetapkan bahwa hari raya yang juga disebut hari haji akbar itu jatuh pada sehari sebelumnya, bertepatan 16 November 2010. Ini berarti bahwa jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah pada tanggal 15 November 2010.
Dari sinilah kemudian muncul pertanyaan, kapan kita yang berada di Indonesia ini berpuasa Arafah dan berhari raya kurban? Apakah tetap mengikuti pemerintah kita atau mengikuti Arab Saudi? Dan apakah memungkinkan kalau puasa Arafahnya mengikuti waktu wukufnya jama’ah haji, sementara idul adhanya mengikuti pemerintah?
Kami akan menyebutkan dua pendapat yang pernah dijelaskan oleh para ulama, yaitu:
Pendapat pertama: puasa Arafah dan idul adha tetap mengikuti pemerintah walaupun berbeda dengan negara Arab Saudi
Ini adalah pendapat yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau pernah ditanya oleh para pekerja yang bertugas di kedutaan Arab Saudi (di negara lain), ketika mereka menghadapi masalah terkait dengan puasa Ramadhan dan puasa Arafah. Mereka tepecah menjadi tiga kelompok:
Kelompok pertama mengatakan: “Kami akan berpuasa dan berbuka mengikuti kerajaan Arab Saudi”.
Kelompok kedua mengatakan: “Kami berbuka dan berpuasa mengikuti negara yang kami bertugas di sana.”
Dan kelompok ketiga mengatakan: “Kami akan berpuasa Ramadhan sesuai dengan negara tempat kami bertugas, namun untuk puasa Arafah, kami mengikuti kerajaan Arab Saudi.”
Maka beliau menjawab:
Para ulama rahimahumullah berbeda pendapat, apakah jika hilal telah tampak di suatu negeri,
- Kemudian mengharuskan kaum muslimin di seluruh negeri untuk mengikuti negeri tersebut,
- ataukah kewajiban itu hanya bagi yang melihat hilal saja dan juga bagi negeri yang satu mathla’ dengannya,
- atau kewajiban itu juga berlaku bagi yang melihat hilal dan siapa saja yang berada di pemerintahan (negara) yang sama.
Dalam permasalahan ini terdapat beberapa pendapat,
Yang rajih (kuat) adalah bahwasannya permasalahan ini dikembalikan kepada ahlul ma’rifah. Jika dua negeri berada dalam satu mathla’ yang sama, maka keduanya terhitung seperti satu negeri, sehingga jika di salah satu negeri tersebut sudah terlihat hilal, maka hukum ini juga berlaku bagi negeri yang satunya tadi.
Adapun jika dua negeri tadi tidak berada pada satu mathla’, maka setiap negeri memiliki hukum tersendiri. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala. Dan inilah yang sesuai dengan zhahir Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta qiyas.
Dalil dari Al-Qur’an:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [Al-Baqarah: 185]
Dipahami dari ayat ini adalah barangsiapa yang tidak melihat maka tidak diwajibkan baginya berpuasa.
Adapun dalil dari As-Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka berpuasalah, dan apabila melihat hilal (syawwal), maka berbukalah (beridul fithrilah).”
Dipahami dari hadits ini adalah jika kita tidak melihat hilal, maka tidak wajib berpuasa ataupun berbuka (beridul fithri).
Adapun dalil qiyas adalah:
Karena waktu mulainya berpuasa dan berbuka itu hanya berlaku untuk negeri itu sendiri dan negeri lain yang waktu terbit dan tenggelamnya matahari adalah sama. Ini adalah hal yang telah disepakati, sehingga anda saksikan bahwa kaum muslimin di Asia sebelah timur mulai berpuasa sebelum kaum muslimin yang berada di sebelah baratnya, demikian pula dengan waktu berbukanya. Hal ini terjadi karena fajar di belahan bumi timur terbit lebih dahulu daripada di belahan barat, begitu juga dengan tenggelamnya matahari. Jika perbedaan seperti ini bisa terjadi pada waktu mulainya berpuasa dan berbuka yang itu terjadi setiap hari, maka demikian juga hal itu bisa terjadi pada waktu mulainya berpuasa di awal bulan dan waktu mulainya berhari raya. Tidak ada bedanya antara keduanya.
Namun jika ada dua negeri yang berada dalam satu pemerintahan, dan pemerintah negeri tersebut telah memerintahkan untuk berpuasa atau berbuka (berhari raya), maka wajib mengikuti perintah (keputusan) pemerintah tersebut. Masalah seperti ini adalah masalah khilafiyah, sehingga keputusan pemerintahlah yang akan menyelesaikan perselisihan yang ada.
Berdasarkan ini semua, hendaklah kalian berpuasa dan berbuka (berhari raya) sebagaimana puasa dan berbuka (berhari raya) yang dilakukan di negeri kalian berada (yaitu mengikuti keputusan pemerintah). Sama saja apakah keputusan ini sesuai dengan negeri asal kalian atau berbeda. Begitu juga dengan hari (puasa) Arafah, hendaklah kalian mengikuti negeri yang kalian berada di sana.
Pada kesempatan yang lain, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala juga ditanya:
“Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arafah dari negeri-negeri yang berbeda disebabkan perbedaan mathla’, apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami berada padanya, ataukah mengikuti ru’yah Haramain (Arab Saudi)?”
Beliau menjawab:
“Permasalahan ini dibangun (muncul) dari perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah munculnya hilal (di suatu daerah) itu berlaku untuk seluruh dunia, ataukah berbeda-beda tergantung perbedaan mathla’nya.
Pendapat yang benar adalah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan mathla’nya. Misalnya di Makkah terlihat hilal tanggal 9 Dzulhijjah, namun di negari lain, hilal tersebut sudah terlihat sehari sebelumnya, sehingga hari Arafah (di Makkah) menurut negeri itu adalah sudah memasuki tanggal 10 Dzulhijjah. Maka tidak boleh bagi penduduk negeri tersebut untuk berpuasa pada hari itu, karena hari itu adalah hari ‘Idul Adha.
Demikian juga jika munculnya hilal Dzulhijjah di negeri itu sehari setelah ru’yatul hilal di Makkah, maka tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah itu adalah bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah di negeri tersebut. Sehingga penduduk negeri tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka, yang bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.
Inilah pendapat yang kuat dalam permasalahan ini, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) hendaklah kalian berpuasa, dan jika kalian melihat hilal (Syawwal) hendaknya kalian berbuka (berhari raya).”
Penduduk di daerah yang tidak tampak oleh mereka hilal, maka mereka bukan termasuk orang yang melihatnya.
Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar dan tenggelamnya matahari itu sesuai (mengikuti) daerahnya masing-masing yang berbeda-beda, maka demikian juga penetapan (awal) bulan itu, sebagaimana penetapan waktu harian (mengikuti daerahnya masing-masing).”
Pendapat kedua: puasa Arafah mengikuti Arab Saudi, namun idul adha mengikuti pemerintah
Ini sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Utsman bin ‘Abdillah As-Salimi hafizhahullah, salah seorang ulama besar di Yaman, dan termasuk murid senior Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimauhllah. Dalam salah satu pelajaran yang disampaikan ba’da zhuhur tanggal 3 Dzulhijjah yang lalu, beliau ditanya:
Apakah kita beridul Adha (yakni mulai menyembelih hewan kurban) dengan mengikuti Arab Saudi, sementara kami di Maroko, meskipun hal ini menyelisihi dan mendahului waliyul amr (pemerintah), dan hal ini juga bisa menimbulkan fitnah sebagaimana yang anda ketahui?
Maka beliau menjawab:
Idul Adha wajib atas seluruh kaum muslimin untuk mengikuti negeri Al-Haramain (Arab Saudi), karena pelaksanaan ibadah haji berada di sana, sehingga yang dijadikan patokan adalah pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah (sesuai dengan yang di Arab Saudi), maka hendaknya kalian melaksanakan puasa hari Arafah ketika di negara Arab Saudi juga berpuasa, yaitu ketika para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah.
Adapun waliyul amr (pemerintah), baik di Maroko maupun negeri yang lain, tidak boleh bagi mereka untuk menyelisihi umat Islam (yang berpatokan pada pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah di Saudi tersebut).
Namun apabila kalian khawatir terjadinya fitnah, jika kalian sanggup, maka hendaknya kalian menyembelih hewan kurban pada hari nahr secara sembunyi-sembunyi. Kalau tidak mampu, maka pada hari keduanya tidak mengapa. Hari-hari penyembelihan itu banyak, yaitu hari nahr (10 Dzulhijjah), tanggal 11, tanggal 12, dan menurut pendapat yang benar adalah juga tanggal 13 sebagaimana yang dikatakan Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama yang lain.
Sehingga kalian boleh memilih, tidak mengapa bagi kalian untuk mengakhirkan dan mengikuti negeri kalian dalam menyembelih hewan kurban jika khawatir timbul fitnah. Wabillahit taufiq.
Akan tetapi hendaknya kalian tetap merasa bahwa hari Id (yang benar) adalah bersama dengan negeri Saudi Arabia. Semoga Allah memberikan taufik kepada kalian.
Adapun untuk shalat id, maka dilakukan pada hari kedua (dari hari nahr, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah) selama di negeri tersebut semuanya melaksanakan id bersama dengan pemerintah setempat, sehingga jika khawatir terjadi fitnah, maka boleh mengakhirkan shalat id pada hari kedua.
Kesimpulan
Kaum muslimin di Indonesia -sebagaimana yang telah diumumkan sendiri oleh pemerintah-, diberi keleluasaan untuk memilih waktu puasa Arafah dan hari Id-nya, silakan mengikuti pemerintah atau boleh juga mengikuti Arab Saudi. Dari keterangan para ulama di atas, maka Insya Allah tidak mengapa bagi setiap muslim di negeri ini untuk menentukan waktu puasa dan hari rayanya sesuai dengan pendapat yang menurut dia lebih tepat (tentunya dalam memilih pendapatnya itu harus dengan didasari oleh ilmu, tanpa ada sikap taqlid, apalagi memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu diri dan kelompoknya), karena masing-masing pendapat tersebut berdasarkan ijtihad para ulama yang bersumber dari dalil-dalil yang syar’i.
Bagi yang mengikuti pendapat pertama, maka dia memiliki dasar:
* Bahwa dari keterangan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin tadi, dalam menentukan waktu masuknya bulan Dzulhijjah, insya Allah Pemerintah Indonesia sudah menempuh upaya-upaya yang sesuai dengan syar’i, yaitu ru’yatul hilal[1], yang kenyataannya pada 29 Dzulqa’dah petang, hilal bulan Dzulhijjah belum nampak, sehingga dilakukan ikmal (menyempurnakan/menggenapkan bulan Dzulqa’dah menjadi 30 hari). Ini semua adalah upaya yang sudah sesuai dengan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.[2]
* Dengan mengikuti pemerintah, syi’ar kebersamaan umat Islam di negeri ini akan lebih terjaga, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:
“Berpuasa (adalah dilakukan di) hari kalian semua berpuasa, beridul fithri (adalah dilakukan di) hari kalian beridul fithri, dan beridul adha (adalah dilakukan di) kalian beridul adha (melakukan penyembelihan).” [HR. At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah]
Dan bagi yang mengikuti pendapat kedua, dia memiliki dasar:
* Puasa Arafah disesuaikan waktunya dengan waktu wukufnya jama’ah haji di Arafah. Sesuai dengan namanya, bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilakukan ketika jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah. Wallahu a’lam.
* Pemerintah memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk memilih waktu puasa dan hari rayanya, sehingga kalau dia berpuasa dan berhari raya tidak bersamaan waktunya dengan pemerintah, ini bukan termasuk bentuk ketidaktaatan kepada waliyul amr.
* Adapun untuk shalat id-nya, boleh bagi dia untuk melakukannya bersamaan dengan pemerintah karena biasanya mayoritas umat Islam di negeri ini mengikuti pemerintah, sehingga jika dikhawatirkan timbul fitnah, tidak mengapa untuk melakukan shalat id sesuai dengan pemerintah negeri ini, berbeda dengan puasa yang itu merupakan amalan yang tidak nampak.
Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Walaupun pemerintah juga menggunakan metode hisab, namun metode ini tidak teranggap karena tidak sesuai dengan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua dan kepada pemerintah negeri ini.
[2] Berbeda dengan yang dituduhkan oleh kelompok sempalan yang dalam pergerakannya banyak menyelisihi syari’at semisal Majelis Mujahidin (Indonesia) yang menyatakan bahwa penetapan awal Dzulhijjah oleh pemerintah RI adalah tidak sah sebagai pegangan Syar’i karena menyalahi penetapan wukuf Arafah. Demikian maklumat yang mereka keluarkan. Wallahu a’lam, sebagaimana yang biasa mereka lakukan, apakah keputusan ini lebih dominan didorong dari sikap kebencian mereka kepada pemerintah atau karena yang lain?
(Sumber: http://www.salafy.or.id/aqidah/puasa/ dari www.assalafy.org/mahad/?p=556)

Minggu, 26 Agustus 2012

STUDI KRITIS PEMAHAMAN JAMA’AH TABLIGH DAN KITAB TABLIGHI NISHAB


STUDI KRITIS PEMAHAMAN JAMA’AH TABLIGH DAN KITAB TABLIGHI NISHAB
Oleh :
Abu Salma al-Atsari

SEJARAH SINGKAT
Jama’ah Tabligh didirikan oleh Syaikh Maulana Ilyas bin Syaikh Muhammad Ismail Al-Kandahlawi Al-Hanafi –Rahimahullah- di benua hindia, tepatnya di kota Sahar Nufur. Beliau dilahirkan tahun 1303 H. di lingkungan keluarga yang mengikuti thariqat Al-Jitsytiyyah ash-Shufiyyah. Beliau orang yang hafidz (hafal Qur’an) dan menimba ilmu di Madrasah Diyuband setelah diba’iat oleh guru besar Thariqat, Syaikh Rasyid Ahmad Al-Katskuhi.
Pusat perkembangan jama’ah tabligh ada di India, tepatnya perkampungan Nidzammudin, Delhi. Mereka memiliki masjid sebagai pusat tabligh yang dikeliliingi oleh 4 kuburan wali. Mereka terkesan sangat mengagungkan masjid tersebut dan menganggap suci masjid yang ada kuburannya tersebut. Da’wah jama’ah tabligh menyebar hingga ke Pakistan, Bangladesh dan negara-negara asia timur dan menyebar hingga ke seluruh dunia. Tujuan dakwah mereka adalah membina ummat islam dengan konsep khuruj/jaulah[1] yang lebih menekankan kepada aspek pembinaan suluk/akhlak, ibadah-ibadah tertentu seperti dzikir, zuhud, dan sabar[2].
AQIDAH MEREKA
Jama’ah tabligh bermanhaj shufi dalam masalah aqidah. Tasawwuf sangatlah mendominasi anggota-anggota jama’ah dimana mereka sangat bersemangat dalam ibadah, dan dzikir, melatih diri dengan sedikit makan dan minum, tidur dan berbicara. Mereka juga mencurahkan perhatian besar terhadap mimpi dan takwilnya. Aqidah mereka menurut pandangan ahlus sunnah wal jama’ah adalah rusak dan khatir, sesat dan menyesatkan. Aqidah jama’ah tabligh tercampur baur dengan syirik, khurafat, bid’ah, wihdatul wujud dan hulul [3].Mereka berkeyakinan akan adanya mukasyafah [4], wali-wali aqhtab [5], dan mereka membenarkan ucapan-ucapan syatahat [6]. Mereka juga menghidupkan dan mengajarkan bid’ah-bid’ah syirkiyyat seperti tabaruk [7], tawassul terhadap makhluk, terhadap kuburan-kuburan nabi dan wali, dan kesyirikan-kesyirikan yang nyata lainnya. Mereka juga menghidupkan bid’ah-bid’ah mawalid dengan membaca qashidah burdah yang penuh dengan kesyirikan dan kebid’ahan.[8]
KHURUJ METODE DAKWAH BID’AH
Mereka begitu mencintai metode dakwah mereka yang mereka nama khuruj ini, bahkan seolah-olah khuruj ini termasuk dalam bagian tak terpisahkan dari syariat islam yang murni dan suci ini. Mereka telah mengotori manhaj dakwah nabi dengan memasukkan apa-apa yang bukan dari-nya. Mereka begitu mengagung-agungkan metode ini, sampai-sampai jika ada diantara jama’ah yang disuruh memilih antara khuruj dan haji, maka mereka lebih memilih dan menyatakan keutamaan khuruj, sembari menyatakan, jika kita berhaji maka pahalanya dan kebaikannya adalah untuk kita sendiri, namun jika kita melaksanakan khuruj maka pahala dan kebaikannya selain untuk kita, juga untuk manusia lainnya. Bahkan mereka lebih memuliakan khuruj dibandingkan jihad fi sabilillah, sebab menurut mereka khuruj itulah jihad fi sabilillah. Mereka berdalil tentang disyariatkannya khuruj ini dengan mimpi pendiri jama’ah tabligh ini, yakni Maulana Ilyas Al-Kandahlawi, yang bermimpi tentang tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imran 110 yang berbunyi : “Kuntum khoiru ummatin UKHRIJAT linnasi …” mereka menafsirkan kata ukhrijat dengan makna keluar untuk mengadakan perjalanan (siyahah). Sungguh penafsiran yang bathil yang menyelisihi hampir seluruh kitab tafsir ulama’ salaf dan khalaf.Mereka pun ketika khuruj dan berdakwah kepada ummat tanpa disertai ilmu dan bashirah (hujjah yang nyata dan jelas). Mereka mengajak kaum muslimin untuk menegakkan sholat namun mereka tidak mau membahas permasalahan sholat secara mendalam beserta hujjah dan dalilnya sehingga mereka tidak tahu bagiamana sifat sholat rasulullah yang benar itu. Mereka mengajak untuk mencontoh kepada rasulullah sedangkan mereka tidak mengetahui sunnah-sunnah dan hadits rasulullah, mereka tidak peduli entah yang mereka gunakan itu hadits dhaif atau maudhu’, yang penting hadits…!!!Mereka telah menetapkan sesuatu syariat yang seharusnya menjadi hak Allah dan rasul-Nya, mereka mengkhususkan bilangan jumlah hari dalam dakwah (baca : khuruj) secara tertentu tanpa ada keterangannya dari rasulullah, mereka menentukan bilangan hari dalam khuruj dengan bilangan yang tidak ada dasarnya sama sekali dari sunnah. Mereka menentukan bilangan hari khuruj selama 6 bulan, 3 bulan, 40 hari, 20 hari, 7 hari lalu seminggu. Suatu pengkhususan yang tidak berdasar dalam manhaj da’wah rasulullah.
Mereka begitu terdorong dan bersemangat mengikuti hadits rasulullah yang menyatakan : “Balligu ‘anni walau aayah…” (Sampaikan dariku walau satu ayat…) namun mereka melupakan kata ‘annii (dari-ku, yakni dari rasulullah), yang seharusnya mereka menyampaikan ayat yang telah benar-benar nyata dari rasulullah. Mereka juga lupa akan ayat Allah yang berbunyi : “Katakanlah (wahai Muhammad): Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajakmu kepada Allah atas bashiroh (hujjah yang nyata)” (QS. Yusuf 108). Yang seharusnya mereka menyeru kepada islam di atas hujjah yang nyata…!!!
Khuruj yang dilakukan jama’ah Tabligh yang mereka tentukan jumlah harinya pada hakikatnya tidak pernah menjadi amalan generasi para salaf dan khalaf. Yang mengherankan adalah mereka keluar untuk tabligh (menyampaikan islam) namun mereka mengakui bahwa mereka tidak layak untuk tabligh dan bukan ahlinya. Tabligh seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas keilmuan yang mumpuni seperti yang dilakukan oleh rasulullah ketika mengutus delegasinya yang terdiri dari sahabat alim yang mengajarkan islam kepada ummatnya, seperti beliau mengutus Ali bin Abi Thalib, Mu’adz bin Jabal, dan selainnya seorang diri, tidak pernah beliau mengutus serombongan sahabat lain untuk menyertai individu-individu utusan rasul tersebut.
Karena itu kami menasehati jama’ah tabligh untuk lebih memperdalam ilmu dien ini. Mengenai ucapan mereka -Jama’ah Tabligh- yang menyatakan : “lihatlah para sahabat… mereka berasal dari mekkah, berasal dari medinnah… namun kuburan-kuburan mereka tersebar, ada yang dikuburkan di negeri Bukhara, di negeri samarkhand, di negeri Andalusia…” maka sungguh mereka salah meletakkan ucapan mereka yang mengqiyaskan apa yang dilakukan oleh para sahabat itu sebagai khuruj ala tablighi. Namun adalah mereka, para sahabat –Ridhwanullah ‘alaihim ajma’in- mereka keluar adalah dalam rangka jihad fi sabilillah.
KEANEHAN-KEANEHAN KITAB TABLIGHI NISHAB/ FADHAILUL ‘AMAL
Sungguh, mereka benar-benar telah menjadikan 2 kitab tulisan tokoh mereka yakni Tablighi Nishab[9] yang ditulis oleh Maulana Zakaria al-Kandahlawy dan Hayatus-Shahabah yang ditulis oleh Maulana Yusuf al-Kandahlawy, sebagaimana 2 kitab syaikhani[10], padahal 2 kitab yang mereka jadikan rujukan utama, yang senantiasa mereka baca di setiap waktu, yang mereka cintai, yang selalu mereka bawa kemana-mana, adalah kitab yang sesat lagi menyesatkan, di dalamnya tercampur antara hadits shahih dengan hadits dhaif, maudhu’, dan laa ashla lahu, di dalamnya terkumpul bid’ah, syirik, khurafat, dongeng, mitos, dan kesesatan lainnya[11]. Namun, begitu taqlidnya mereka, begitu husnudh-dhonnya mereka, sehingga mereka biarkan kesesatan itu tetap ada di dalam kitab mereka, mereka tidak ridha dan rela kitab mereka dibersihkan dari kesesatan ini, mereka tetap menginginkan kitab itu seperti apa adanya sebagaimana ditulis oleh penulisnya, dan mereka tidak sadar bahwa penulis kedua kitab itu tidak ma’shum, namun mereka tetap tidak mengindahkannya, dan mereka menganggap seolah-olah penulis dua kitab itu bagaikan wali yang ma’shum. –Semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka-Sungguh, telah banyak para ulama’ pencinta kebenaran yang mengkoreksi kitab-kitab semacam ini, yang berusaha membuang dan membersihkan agama ini dari kotoran-kotoran, yang berusaha memelihara kemurnian agama ini, yang berusaha memerangi para ahli bid’ah dan kebid’ahannya. Namun, usaha mereka itu tidaklah mendapatkan tempat bagi orang-orang yang cinta akan kesesatan dan kebid’ahan. Diantara kesesatan kitab itu adalah :
TABLIGHI NISHAB MENCAMPUR HADITS-HADITS MAUDHU’ DAN DHAIF
1. Dalam Fadha’iludz Dzikir, hal. 96 Diriwayatkan dari Umar, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Manakala nabi Adam ‘alahi salam melakukan perbuatan dosa, ia mengetengadahkan kepala ke langit seraya berkata : ‘Ya Rabb, aku memohon kepada-Mu dengan keagungan Muhammad, ampunilah dosaku.’ Maka Allah menurunkan wahyu dari ‘arsy. Lalu Adam berkata : ‘Maha suci nama-Mu, tatkala Kau menciptaku, aku mengetengadahkan kepalaku ke arah arsy, ternyata tertulis padanya, Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah. Maka aku mengetahui bahwa tak seorangpun yang lebih mulia martabatnya di sisi-Mu daripada orang yang telah engkau jadikan beriringan dengan nama-Mu.’ Lalu Allah berfirman kepada Adam, ‘wahai Adam, sesunggunya Muhammad itu nabi terakhir dan termasuk anak cucumu, seandainya Muhammad tidak diciptakan maka Aku tidak menciptamu.” (Tablighi Nishab, bab Fadhailudz Dzikir, hal 96.)Keterangan : Hadits di atas adalah hadits Maudhu’ dalam Al-Maudhu’at Al-Kabir. Perawi-perawi dalam hadits di atas majhul (tidak dikenal).
2. Dalam Fadha’iludz Dzikir, hal. 109-110
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, bersabda Rasulullah : ‘Barangsiapa menziarahi kuburanku, maka wajib atasnya syafatku.’ (Tablighi Nishab, Bab Fadha’iludz Dzikir, hal. 109-110)
Keterangan : Hadits di atas hadits Maudhu’, lihat Dhaiful Jami’ no 5618.
3. Dalam Fadha’ilul Haj, hal. 101
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah bersabda : “Barangsiapa yang menziarahiku setelah wafat maka ia laksana menziarahiku sewaktu aku hidup.” Berkata penulis : Diriwayatkan oleh Imam Thabrani, Daruquthni dan Baihaqi. Baihaqi menyatakan Hadits ini Dhaif dalam Al Ittihaf. Berdasarkan riwayat Imam Baihaqi dalam Al-Misyqat disebutkan, “Siapa yang melakukan haji dan menziarahi kuburanku, maka ia seperti menziarahiku sewaktu aku hidup.” Berkata penulis : Al-Muwaffiq dalam Al-Mughni menjadikan hadits ini sebagai dalil terhadap keutamaan ziarah ke makam nabi. (Tablighi Nishab, bab Fadha’ilul Haj, hal 101)
Keterangan : Hadits di atas Maudhu’ dalam Dha’iful Jami’ no 5563
Inilah sekelumit di antara kandungan hadits-hadits Maudhu’ dalam Tablighi Nishab, yang masih sangat banyak lagi di dalamnya yang harus dibersihkan dan dibuang jauh-jauh, karena Rasulullah bersabda dalam haditsnya yang Mutawattir : “Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja maka persiapkan duduknya di atas neraka”, termasuk berdusta atas nama nabi yakni menyampaikan kepada ummat apa-apa yang bukan dari beliau namun disandarkan terhadap beliau, masuk di dalamnya menyampaikan atau menggunakan hadits maudhu’, dan telah sepakat ummat ini bahwa hadits maudhu’ tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil.
TABLIGHI NISHAB BERISI KHURAFAT, HIKAYAT DAN DONGENG.
Muhammad Zakaria al-Kandahlawy –semoga Allah mengampuninya- di dalam bukunya Tablighi Nishab merangkum khurafat, bid’ah, mitos dan hikayat-hikayat yang memekakkan telinga dan jauh dari kodrat dan tidak bisa dibenarkan akal sehat. Rujukan yang dipegangnya tak dapat dipercaya dan ia menukil dari pengarang yang tak mendapatkan legitimasi para ulama’. Diantara kisah-kisah tersebut adalah :
 1. Dalam Fadhailul Haj, hal 137-138, akhir bab IX, hikayat ke-13 Dinukil dari As-Suyuthi dalam kitab Al-Hawi bahwa Sa’id Ahmad Ar-Rifa’I berziarah ke makam Nabi setelah haji pada tahun 555 H. Ia melagukan dua bait syair sebagai berikut :
Dalam hal yang jauh, ruhku kulepaskan….
Bumi menerima dariku, karena ia wakilku…
Inilah kerajaan khayalan yang aku hadiri…
Maka ulurkan tangan kananmu agar terengkuh oleh bibirku…
Lalu tangan nabi yang diberkahi keluar dari makamnya yang mulia dan Ar-Rifa’i pun mencium tangannya.
Penulis menambahkan dalam kitab Al-Bunyan Al-Masyid, “ada 90 ribu orang yang menyaksikan hal itu. Mereka adalah peziarah makam Nabi. Diantara peziara itu adalah Syaikh Abdul Qodir Jailani.”
(Tablighi Anishab, bab Fadhailul Haj, hal 137-138, akhir bab IX, hikayat 13)
2. Dalam Fadha’ilul Haj, hal 133
Syaikh Abu Khair Al-Aqtha’ berkata, “Aku merasa lapar karena selama 5 hari aku belum makan. Lalu aku berziarah dan ketiduran setelah aku membaca shalawat kepada Nabi di sisi makamnya. Aku bermimpi Nabi datang bersama Syaikhani dan Ali Radhiallahu ‘anhu. Kemudian beliau memberi aku sepotong roti. Aku makan roti itu setengahnya, ketika aku terbangun, aku melihat setengah roti sisanya masih ada di tanganku.” (Tablighi Nishab, bab Fadha’ilul Haj, hal 133)
3. Dalam Fadahilul hajj, hal 141
Syaikh Syamsuddin, ketua Khadamul haram An-Nabawi berkata : “Satu jama’ah dari Aleppo menyuap gubernur Madinnah agar mereka dizinkan membongkar makam Syaikhani dan mengambil jasad keduanya. Maka ketika itu datanglah 40 orang laki-laki membawa cangkul pada malam harinya. Keempat puluh orang itu iba-tiba saja hilang di telan bumi. Setelah itu gubernur Madinah berkata, ‘Janganlah kau sebarkan hal ini, atau aku akan memenggal kepalamu.” (Tablighi Nishab, bab Fadha’ilul Haj, hal 141)
4. Dalam Fadha’ilul Haj, hal 87)
Syaikh Zakaria berkata, “Dinukil dari beberapa Syaikh, bahwa seorang Syaikh yang tinggal di negeri Khurasan lebih dekat ke Ka’bah karena ia selalu bersentuhan dengan ka’bah dibandingkan orang-orang yang selalu berthawaf di ka’bah. Bahkan terkadang ka’bah datang mengunjunginya.” (Tablighi Nishab, bab Fadha’ilul Haj, hal 87)
5. Dalam Fadhailush Shadaqah, hal. 588. dikisahkan : Syaikh Zakaria mengerjakan sholat sebanyak 1000 raka’at dengan berdiri. Apabila ia merasa lelah, maka ia sholat dengan duduk sebanyak 1000 raka’at. (Tablighi Nishab, bab Fadha’ilush Shadaqah, hal 588)
6. Dalam Fadha’ilul Qur’an, hal. 15. Diceritakan : bahwa Ibnu Katib mengkhatamkan Al-Qur’an setiap hari sebanyak 8 kali.
7. Dalam Fadhailul Haj, hal. 218. Diceritakan : bahwa Nabi Khidr mengerjakan sholat shubuh di mekkah dan duduk di rukun syami sampai terbit matahari, kemudian sholat Dhuhur di Madinah, sholat ashar di Baitul Maqdis dan Sholat Maghrib dan Isya’ di Al-Iskandari.
8. Dalam Fadha’ilush Shadaqah hal. 588. Diceritakan : bahwa Abu Muhammad Al Jurairi melaksanaknan I’tikaf di Makkah selama setahun penuh, tidak tidur tidak pula bersandar di dinding atau tiang.
9. Dalam Fadhailul Hajj, hal 135
Seseorang bertanya kepada Nabi Khidir, “apakah kamu melihat seseorang yang lebih mulia daripada dirimu?” menjawab Nabi Khidir, “Pada suatu ketika aku berada di dalam masjid Muhammad (di madinah). Pada waktu itu Imam Abdurrazaq sedang mengajari jama’ah tentang hadits nabi, maka aku melihat seorang pemuda duduk sendiri di pojok masjid sambil meletakkan kepalanya di atas kedua lututnya. Aku bertanya padanya, ‘mengapa kau tidak mengikuti majlis Abdurrazaq dan mendengarkan hadits-hadits nabawi’, ia menjawab, ‘Di sana jama’ah mendengarkan pengajian dari Abdurrarzaq, namun di sini ada seorang sendirian mendengarkan pelajaran Abdurrazaq tanpa ada orang lain.’ Kemudian Nabi Khidr berkata, ‘Jika benar demikian maka katakanlah siapakah aku ini?’ Ia menjawab ‘Kamu adalah nabi Khidr’. Nabi Khidr berkata. ‘dengan demikian aku mengetahui bahwa ada sebagian wali Allah yang tidak aku ketahui dikarenakan ketinggian derajatnya.” (Tablighi Nishab, bab Fadha’ilul Hajj, hal 135)
Banyak lagi hikayat-hikayat lainnya di samping dongeng-dongeng di atas, yang mana di dalam buku ini banyak sekali berserakan di dalamnya mitos, kebatilan, khurafat dan bid’ah. Apakah gerangan yang diinginkan pengarang buku ini dengan memuat segala malapetaka ini? Bagiamana bisa Jama’ah Tabligh menerima sesuatu yang rasanya pahit ini? Bagiamanakah sikap ulama’ mereka terhadap bahaya sufistik ini? Apakah ada yang bisa menjawab? Hanya Allah lah tempat mengadu…!!!
PERNYATAAN ULAMA’-ULAMA’ SUNNAH TENTANG JAMA’AH TABLIGH·
Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashrudin Al-Albani –Rahimahullah- dalam fatawa Al-Imarotiyah hal. 30 ketika ditanya tentang jama’ah tabligh, beliau memberikan jawaban : “Da’wah Jama’ah Tabligh adalah sufi masa kini (shufiyyah ashriyyah) yang tidak berpijak kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya…”
· Fatwa terakhir Samahatusy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim ‘alu Syaikh –Rahimahullah- : “Saya jelaskan bahwa jam’iyyah ini (jama’ah tabligh, peny.) adalah jam’iyah yang tidak kebaikan padanya. Sebab itu jam’iyah ini adalah bid’ah lagi sesat menyesatkan.” (fatawa Syaikh Ibrahim, hal. 405 tanggal 29/1/82 H)
· Fatwa terakhir Al-Allamah Samahatusy-Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baaz –Rahimahullah-, ketika beliau ditanya mengenai jama’ah tabligh, beliau menjawab : “…Jama’ah Tabligh dari India yang sudah dikenal ini terdapat khurafat, bid’ah dan syirik pada mereka…” (Fatwa terakhir Syaikh bin Bazz dikutip dari kaset Ta’qib Samahatusy-Syaikh Abdul Aziz bin Bazz ‘ala Nadwah.)
· Syaikh Hammud bin Abdullah At-Tuwaijiri –Rahimahullah- ketika ditanya tentang jama’ah tabligh, beliau menjawab secara terperinci dalam Al-Qoul Al-Baligh fi ar-Roddi ‘ala jama’atit tabligh yang intinya adalah : “Saya katakan bahwa jama’ah tabligh itu kelompok yang sesat lagi bid’ah. Mereka tidaklah mengikuti jalan yang telah ditempuh Rasulullah dan sahabatnya, juga para tabi’in. Akan tetapi mereka mengikuti metode shufiyyah yang bid’ah…”
· Syaikh Ali Hasan ketika ditanya mengenai kebaikan jama’ah tabligh karena banyaknya pemuda yang masuk islam melalui da’wah mereka, menjawab : “Perkataan itu benar namun kurang! Benar jama’ah tabligh menda’wahi banyak manusia dimana menghasilkan orang yang dahulunya berandalan sekarang bertaubat, tetapi sebagaimana pendapat ulama’, bahwasanya hidayah itu ada dua, yakni hidayah ‘ila thariq (ke jalan) dan hidayah fi thariq (di jalan). Ya.. memang jama’ah tabligh ini mendakwahi manusia ‘ila thariq, tapi mereka tidak berdakwah fi thariq. Bagaimana tidak !!! aqidah mereka saja hancur!!! Mereka mengatakan dalam kitab mereka yang masyhur tablighi nishab yang penuh dengan khurafat serta penyimpangan-penyimpangan…” (kaset muhadharah Syaikh Ali berjudul Manhaj as-Salaf).
· Fatawa Lajnah Al-fatawa fi idaratil Buhuts al-ilmiyyah wal ifta’ wad da’wah wal irsyad, menyatakan : “Jama’ah Tabligh sangat berlebihan dalam hal-hal negatif dan generalisasi terhadap suatu masalah. Jama’ah tabligh tidak jelas mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah dalam berdakwah sampai dengan perincian prinsip-prinsip syariat islam dan cabang-cabang hukumnya…” (dinukil oleh Ust. Falih Nafi’ dalam kitabnya Ad-Diinun-Nashiihah hal 17-18)
NASIHAT BAGI JAMA’AH TABLIGH
Kami nasihatkan bagi jama’ah tabligh dan orang-orang yang simpati pada da’wah mereka, termasuk orang-orang yang mengepankan ukhuwwah dan tidak menegakkan pilar saling menasihati dan membiarkan kebathilan dan kesalahan seperti ini dipendam dengan maksud menjaga ukhuwwah dan supaya ummat tidak terpecah belah, agar : 1. Bertakwa kepada Allah, takut akan siksa-Nya dan adzab-Nya. Menjauhi apa-apa yang dilarang-Nya dan meninggalkan segala hal yang mengakibatkan murka-Nya.2. Bertaubat kepada Allah akan kesalahan-kesalahan kita, berjanji tidak akan mengulanginya, dan meninggalkan segala pemahaman-pemahaman sesat dan salah yang selama ini kita pegang.
3. Menuntut ilmu dien yang syar’i yang selaras dengan pemahaman salaf ash-sholih, mengamalkannya, mendakwahkannya dan sabar dalam memeliharanya.
4. Senantiasa menegakkan pilar nasehat-menasehati dan tolong menolong dalam kebenaran dan ketakwaan.
Catatan kaki :
[1] keluar wilayah untuk berdakwah dengan jumlah waktu yang telah ditentukan seperti 4 bulan, 40 hari, seminggu, dls.
[2] baca ‘Jama’ah Tabligh’ karya M. Aslam Al-Bakistani –beliau mantan tokoh Jama’ah tabligh yang ruju’ /taubat dari manhaj tablighi-
[3] akan datang keterangannya mengenai kesesatan aqidah jama’ah tabligh ini.
[4] tersingkapnya tabir ghaib sehingga manusia dapat mengetahui yang ghaib dan ini merupakan aqidah shufi yang rusak
[5] keyakinan adanya wali-wali kutub yang memiliki kemampuan mempengaruhi kahidupan makhluk –ini termasuk kesyirikan yang nyata
[6] (ucapan-ucapan yang keluar dari orang-orang shufiyah ketika akal mereka hilang dan mereka menganggap mereka (orang-orang shufiyah ini, peny.) dalam maqam yang paling tinggi dan ucapannya hampir seperti wahyu –Wallahul musta’an)
[7] mencari berkah baik di kuburan ataupun di tempat-tempat yang dikeramatkan dan ini termasuk kesyirikan yang nyata
[8] Baca kitab mereka yang berjudul Bahjatul qulub karya Muhammad Iqbal, salah seorang tokoh jama’ah tabligh, buku ini penuh dengan keanehan-keanehan, kesyirikan dan kebid’ahan yang sesat lagi menyesatkan.
[9] Atau dikenal dengan Fadhailul ‘amal. Nama fadhailul ‘amal ini diambil sebagai upaya pentalbisan dengan mengangkat kebolehan penggunaan hujjah hadits dhaif dalam fadhilah ‘amal (amalan fadhilah), namun mereka melupakan syarat-syarat bolehnya hadits dhoif digunakan sebagai fadhilah amal, lebih jauh lagi, kitab ini bukan hanya mengangkat hadits dhoif saja, namun juga maudhu’, hikayat-hikayat, dan dongeng-dongeng palsu.
[10] Yaitu Bukhari Muslim, wallahu a’lam
[11] Akan menyusul contoh-contohnya dalam risalah ini

Kamis, 16 Agustus 2012

Beberapa Amalan di Hari Raya Idul Fithri

Beberapa Amalan di Hari Raya Idul Fithr


BEBERAPA AMALAN DI HARI BAHAGIA IDUL FITHRI


Ditulis: Mushlih bin Syahid Abu Sholeh Al-Madiuniy -waffaqohulloh-

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين وبه نستعين والصلاة والسلام على سيد المرسلين
وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أما بعد

Hari raya ‘Idul Fithri merupakan hari bahagia bagi kaum muslimin, setelah mereka menyelesaikan ibadah yang agung selama sebulan penuh yaitu puasa Romadhon yang merupakan salah satu rukun Islam. Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda dalam sebuah hadits qudsiy:
كل عمل ابن آدم يضاعف الحسنة عشر أمثالها إلى سبعمائة ضعف قال الله عز وجل إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به يدع شهوته وطعامه من أجلي للصائم فرحتان فرحة عند فطره وفرحة عند لقاء ربه
“Setiap amalan bani Adam dilipat-gandakan pahala atau kebaikannya sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Alloh -‘azza wa jalla- berkata: “Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dengannya Aku akan mengganjar seseorang yang meninggalkan syahwat dan makan-minumnya karena-Ku.” Bagi orang yang berpuasa mendapatkan dua kebahagian: kebahagian ketika hari fithrinya dan kebahagiaan ketika menemui Robb-Nya.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu-)
Berkaitan dengan akan datangnya hari raya ‘Idul Fithri tahun ini, maka kita sebagai seorang muslim perlu memperhatikan dan mengingat kembali apa-apa yang diamalkan pada hari bahagia tersebut, berdasarkan tuntunan syariat yang benar dan lurus terbebas dari kemungkaran yang ada, baik itu berupa kemaksiatan maupun kebid’ahan. Tentunya hal ini tidaklah didapatkan, melainkan dengan kembali merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah dengan bimbingan para ulama salafush-sholeh yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya.
Insyaalloh, pembahasan kali ini berisi tentang amalan-amalan yang disyariatkan pada hari raya ‘Idul Fithridisertai pula dengan peringatan dari perkara-perkara yang dilarang dan tidak pantas untuk kita lakukan pada hari tersebut.

HARI-HARI RAYA UMAT ISLAM

Sebelum kita memasuki inti pembahasan, maka perlu diketahui bahwa umat Islam hanyalah memiliki lima hari raya dalam setahun berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah dan ijma’ ulama. Hari-hari raya tersebut adalah: ‘Idul Fithri (1 Syawal), hari ‘Arofah (9 Dzulhijjah), ‘Idul Adhha (10 Dzulhijjah), hari Tasyriq (11-13 Dzulhijjah) dan hari Jum’at (tiap pekan). Tidaklah Alloh -ta’ala- dan Rosul-Nya -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menjadikan selainnya sebagai hari raya bagi umat Islam. Hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama Islam. (lihat Al-Muhalla: 3/293, karya Ibnu Hazm -rohimahulloh-)
Dahulu orang-orang musyrik menjadikan banyak hari raya bagi mereka, kemudian semuanya dihapus oleh Islam dan diganti dengan hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adhha sebagai bentuk rasa syukur kepada Alloh -ta’ala- setelah menunaikan dua ibadah yang sangat agung: puasa Romadhon dan haji di baitulloh Al-Harom. Telah shohih dari Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya ketika beliau tiba di Madinah, para penduduknya mempunyai dua hari yang mereka mengadakan permainan di dalamnya. Maka Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
قد أبدلكم الله بهما خيراً منهما يوم النحر ويوم الفطر
“Sungguh Alloh telah mengganti untuk kalian dua hari yang lebih baik dari hari kalian itu, yaitu: hari raya kurban dan hari raya fithri.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’iy dari Anas -rodhiyallohu ‘anhu-, dishohihkan olehSyaikhuna Zayid dalam Al-Jami’ li-Ahkamil ‘Idain, hal. 10)
Demikian juga hari-hari ‘Arofah dan Tasyriq termasuk hari-hari raya umat Islam. Telah shohih dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya beliau bersabda:
يوم عرفة ويوم النحر وأيام التشريق عيدنا أهل الإسلام وهن أيام أكل وشرب
“Hari ‘Arofah, hari kurban dan hari-hari Tasyriq adalah hari raya kita umat Islam; hari-hari makan dan minum.”(HR. Ahmad, Abu Dawud dan selainnya dari ‘Uqbah bin ‘Amir -rodhiyallohu ‘anhu-, dishohihkan oleh Imam Al-Wadi’iy dalam Ash-Shohihul Musnad: 2/28)
Adapun hari Jum’at, maka berdasarkan hadits Anas -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Imam Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (2083):
عرضت الجمعة على رسول الله صلى الله عليه وسلم جاء جبريل في كفه كالمرآة البيضاء في وسطها كالنكتة السوداء فقال ما هذه يا جبريل قال هذه الجمعة يعرضها عليك ربك لتكون لك عيدا ولقومك من بعدك ولكم فيها خير الحديث
“Telah diperlihatkan hari Jum’at kepada Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-.Datanglah Jibril yang di telapak tangannya seperti cermin putih cemerlang, di tengahnya seperti sebuah titik hitam. Maka beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bertanya: “Apa ini, wahai Jibril?” Dia menjawab: “Ini adalah Jum’at yang diperlihatkan oleh Robb-mu supaya menjadi hari raya bagimu dan umatmu sepeninggalmu. Bagi kalian pada hari itu suatu kebaikan…” (Al-Hadits; dihasankan oleh Syaikhuna Zayid dalam Al-Jami’ li-Ahkamil ‘Idain, hal. 17)
Dengan demikian, maka tidak diperbolehkan untuk menambah atau menjadikan hari lain sebagai hari raya selain yang tersebut di atas, seperti hari raya maulid (kelahiran) dan sebagainya. Hal ini karena termasuk menambah-nambahi apa yang telah disyariatkan oleh Alloh bagi hamba-Nya dan termasuk membuat kebid’ahan dalam perkara yang telah diatur oleh agama, menyelisihi sunnah sayyidil mursalinserta menyerupai orang-orang kafir, baik itu dinamakan sebagai hari raya (‘id), peringatan, pengenangan dan sebagainya. Semua itu bukanlah ajaran Islam, tetapi sebaliknya termasuk perkara jahiliyah dan taklid terhadap kaum kafir dari negara-negara barat dan selainnya. Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:
من تشبه بقوم فهو منهم
“Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Ibnu Umar -rodhiyallohu ‘anhu-, dihasankan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Hijabul Mar’ah, hal. 104 dan Al-Irwa’: 1269)
إن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabulloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (dalam agama) dan setiap kebid’ahan itu adalah sesat.” (HR. Muslim dari Jabir -rodhiyallohu ‘anhu-)
Kita memohon kepada Alloh agar memperlihatkan al-haq kepada kita dengan sebenarnya serta memudahkan kita untuk mengikutinya dan memperlihatkan kebatilan dengan sebenarnya serta memudahkan kita untuk menjauhinya.
Hari-hari raya tersebut dinamakan sebagai ‘ied (kembali), karena hal itu terus kembali dan berulang di setiap tahunnya. Hari itu terus berulang dengan rasa senang hati dan bahagia serta Alloh-ta’ala- kembali dengan membawa kebaikan bagi hamba-Nya setelah menunaikan amalan ibadah sebelumnya. (Sholatul-’Idain, hal. 1; Al-Jami’ li-Ahkamil ‘Idain, hal. 9-25)

AMALAN-AMALAN DI HARI RAYA

Amalan-amalan yang dilakukan oleh kaum muslimin di hari raya ‘Idul Fithri cukup banyak, ada yang hukumnya wajib untuk dilakukan. Ada pula yang mustahab dan mubah. Bahkan ada pula yang tidak pantas dan haram untuk dilakukan bersamaan dengan banyaknya kaum muslimin yang terjatuh padanya. Semua itu patut untuk diperhatikan dan diilmui oleh segenap kaum muslimin, sehingga mereka berada di atas bashiroh, dapat berbuat hikmah dengan memilah-milah, mana yang selayaknya untuk dilakukan dan mana yang harus dihindari dan dijauhi. Semoga Alloh -ta’ala- memberikan taufiq dan hidayahnya kepada kita semuanya.

Takbiran dan tata caranya serta hukum takbir jama’iy
Pada hari raya fithri, disunnahkan untuk bertakbir ketika berangkat menuju musholla (lapangan) tempat diselenggarakannya sholat ‘iedul fithri. Kemudian takbir tersebut berlangsung di lapangan sholat ‘ied sampai didirikannya sholat ‘Iedul Fithri dengan mengeraskan suaranya bagi laki-laki, baik di masjid, rumah-rumah, pasar-pasar dan di jalan-jalan serta di seluruh tempat yang diperbolehkan padanya dzikir kepada Alloh -ta’ala-. Adapun para wanita tidak mengeraskan suaranya, untuk menghindari timbulnya fitnah yang disebabkan oleh kelembutan suara mereka. Hal ini berdasarkan firman Alloh -ta’ala-:
ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم تشكرون
“Hendaklah kalian menyempurnakan bilangannya (puasa Romadhon) dan hendaklah kalian mengagungkan Alloh (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur.” (QS. Al-Baqoroh: 185)
Juga berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyah -rodhiyallohu ‘anha-:
كُنَّا نُؤْمَرُ بِالْخُرُوجِ فِي الْعِيدَيْنِ، وَالْمُخَبَّأَةُ، وَالْبِكْرُ. قَالَتْ: الْحُيَّضُ يَخْرُجْنَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ، يُكَبِّرْنَ مَعَ النَّاسِ
“Kami (para wanita) dahulu diperintahkan untuk keluar (ke lapangan sholat ‘ied) pada dua hari raya (‘iedul fithri dan adhha). Demikian juga para perawan dan wanita pingitan. Para wanita yang sedang haid pun keluar dan berada di belakang manusia, semuanya ikut bertakbir bersama dengan manusia.” (HR. Bukhoriy: 971, Muslim: 890)
Juga telah tsabit (dengan sanad hasanatsar Ibnu Umar -rodhiyallohu ‘anhuma- bahwasanya beliau berangkat menuju sholat ‘ied dan bertakbir sambil mengeraskan suaranya sampai datangnya imam. (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah: 1/487)
Hukum bertakbir pada ‘Iedul Fithri ini sunnah mu’akkad menurut para ulama, karena Alloh -ta’ala- telah memerintahkannya pada ayat di atas yang hal itu merupakan syiar Islam yang patut untuk disemarakkan.
Mengenai lafadz takbir, maka pendapat yang benar adalah tidak ada penentuan lafadz khusus yang disunnahkan. Akan tetapi diperbolehkan dengan seluruh lafadz yang mengandung takbir, seperti lafadz:
الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر ولله الحمد
“Allohu akbar, Allohu akbar, laa ilaaha illallohu, Allohu akbar, wa lillaahil-hamd.”(riwayat shohih dari ‘Ali dan Ibnu Mas’ud -rodhiyallohu ‘anhuma-)
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر كبيرا
“Allohu akbar, Allohu akbar, Allohu akbar kabiiro.” (riwayat shohih dari Salman Al-Farisiy -rodhiyallohu ‘anhu-)
الله أكبر، الله أكبر كبيرا، الله أكبر كبيرا، الله أكبر وأجل، الله أكبر ولله الحمد
“Allohu akbar, Allohu akbar kabiiro, Allohu akbar kabiiro, Allohu akbar wa ajal, Allohu akbar wa lillahil-hamd.”(riwayat shohih dari Ibnu ‘Abbas -rodhiyallohu ‘anhuma-) dan sebagainya.
Adapun hukum takbir secara berjama’ah dengan satu suara (jama’iy), maka ini tidaklah disyariatkan dan termasuk kebid’ahan. Hal ini karena tidak ada tuntunan yang shohih dari Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat beliau, maka hal ini tertolak. Terlebih lagi, jika hal ini diiringi dengan suara tabuh-tabuhan dan arak-arakan, maka keadaannya bertambah semakin memburuk, termasuk sikap berlebih-lebihan (ghuluw) dalam agama ini, wallohul musta’an! Akan tetapi yang benar adalah setiap orang mengeraskan suara takbirnya masing-masing tanpa sengaja disatukan dengan yang lainnya. Sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada berlebihan dalam kebid’ahan. (lihat Fatwa Ibnu Bazz dalam kitab Thoharoh wa Sholah: 2/219 dan Al-Lajnah Ad-Da’imah: 8/311)
(Fathul ‘Allam: 2/192,193,196197; Al-Jami’ li-Ahkamil ‘Idain, hal. 284; Sholatul ‘Idain, hal. 16)

Membayar zakat fithri
Zakat ini merupakan salah satu rukun Islam, dibayarkan kepada yang berhak menerimanya sebelum keluarnya manusia untuk sholat ‘ied, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar -rodhiyallohu ‘anhuma-muttafaqun ‘alaih dan hadits Ibnu ‘Abbas -rodhiyallohu ‘anhuma- riwayat Abu Dawud dan selainnya (haditshasan). Lihat pembahasan selengkapnya mengenai hukum-hukum zakat fithri pada risalah: ZAKAT FITHRI, oleh Saudara Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawiy dan fatwa seputar zakat: HUKUM PENUNAIAN ZAKAT FITHRI BAGI YANG TIDAK BISA MELAKUKANNYA PADA WAKTUNYA, alih bahasa Saudara Abu ‘Ubaidillah ‘Amir bin Munir Al-Acehiy-saddadahumalloh-.

Sarapan sebelum berangkat sholat ‘idul fithri
Disunnahkan untuk makan dahulu sebelum berangkat sholat ‘Idul Fithri, sebagaimana hadits Buroidah bin Al-Hushoib -rodhiyallohu ‘anhu-:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا كان يوم الفطر لم يخرج حتى يأكل
“Bahwasanya Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- ketika hari ‘Idul Fithri, tidaklah keluar sampai beliau makan dahulu.” (HR. Ahmad dan selainnya, dihasankan oleh Syaikh Zayid dalam Al-Jami’, hal. 57; lihatTahqiq Bulughul Marom: 472)
Hikmah disunnahkannya sarapan sebelum berangkat sholat ‘Idul Fithri tersebut disebutkan oleh para ulama, diantaranya: untuk membedakannya dengan Romadhon yang kita dilarang untuk makan pada siang hari. Juga untuk menghindarkan prasangka bahwa seseorang itu belum boleh makan sampai didirikannya sholat ‘ied. Demikian juga, sarapan membuat diri seseorang menjadi lebih tenang, karena sholat ‘Idul Fithri biasanya diperlambat waktu pelaksanaannya untuk memberikan kesempatan bagi yang belum membayarkan zakat fithrinya dan masih ada hikmah-hikmah lainnya yang mereka sebutkan.Wallohu a’lam.
Hendaknya seorang muslim itu beribadah kepada Alloh -ta’ala- dengan sebaik-baiknya, baik mengetahui hikmah suatu ibadah tersebut ataupun tidak. Apabila seseorang menemukan atau mengetahui hikmahnya, maka dapat menambah semangat dan giat mengamalkannya, walhamdulillah. Jika tidak demikian, maka hendaknya tetap tunduk dengan syariat-Nya dan mengerti bahwa tidaklah Alloh -ta’ala-membuat suatu syariat, melainkan di dalamnya terdapat hikmah yang sempurna untuk kebaikan hamba-Nya yang beriman. (lihat Fathul Bariy, karya Ibnu Hajar: 2/447, dan Ibnu Rojab: 8/443)
Disunnahkan pula untuk memakan beberapa biji buah kurma, sebagaimana dalam hadits Anas -rodhiyallohu ‘anhu-:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لايغدو يوم الفطر حتى يأكل تمرات
“Tidaklah Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berangkat pada hari ‘Idul Fithri sampai beliau memakan beberapa biji kurma.” (HR. Bukhoriy)
Hikmah disunnahkannya memakan buah kurma adalah bahwa buah tersebut termasuk makanan yang paling utama, terkumpul di dalamnya tiga perkara: gizi, buah dan manisan yang bisa menguatkan pandangan mata, setelah melemah karena berpuasa. Jika tidak menemukan kurma, maka silahkan dengan makanan lain yang tersedia. (Al-Jami’ li-Ahkamil ‘Idain, hal. 54-64)

Tajammul (berhias) di hari ‘ied
Dianjurkan pula untuk berhias di hari bahagia ini, baik dengan mandi, bersiwak, memakai baju terbaik yang dimiliki, minyak wangi, memotong kuku, merapikan rambut dan sebagainya sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Telah tsabit (shohih) dari Ibnu Umar -rodhiyallohu ‘anhuma- bahwasanya beliau mandi dan memakai minyak wangi sebelum berangkat sholat hari raya. (Al-Muwattho’: 1/177; Mushonnaf Abdurrozzaq: 3/309)
Dalam Shohih Bukhoriy dan Muslim dari Ibnu Umar -rodhiyallohu ‘anhuma- bahwasanya beliau membawajubbah (sejenis jaket panjang atau pakaian luar) bagus terbuat dari sutra dari pasar, lalu mendatangi Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dengan mengatakan: “Wahai Rosululloh, belilah jubah ini untuk berhias di hari raya dan untuk menerima tamu-tamu.” Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menjawab:
إنما هذه لباس من لا خلاق له
“Baju ini (jubbah sutra) hanyalah milik orang yang tidak punya bagian sedikitpun dari ketakwaan di dunia dan pahala di akherat.”
Dalam hadits ini, Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menyetujui maksud Umar agar beliau berhias di hari raya dan waktu penyambutan tamu. Pengingkaran beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- hanyalah karena baju tersebut terbuat dari sutra yang hukumnya adalah harom bagi laki-laki. Oleh karena itu, hendaknya dalam berhias di hari raya dengan menggunakan sesuatu yang halal dan mubah, tidak menyerupai orang-orang kafir dan unsur kemaksiatan lainnya. (Al-Jami’ li Ahkamil ‘Idain, hal. 75-83)

Beberapa masalah berkaitan dengan sholat hari raya ‘Idul Fithri

Hukum sholat ‘ied
Hukum sholat ‘ied adalah fardhu ‘ain atas setiap musim, baik laki-laki maupun perempuan menurut pendapat yang rojih (kuat), karena hal itu diperintahkan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Hal ini berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyah -rodhiyallohu ‘anha-:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، الْعَوَاتِقَ، وَالْحُيَّضَ، وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ، وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ، وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ، قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Kami diperintahkan untuk mengeluarkan para perawan, yang sedang haidh dan wanita pingitan pada hari raya fithri dan adhha. Adapun para wanita yang sedang haidh, menghindari musholla (lapangan tempat sholat) dan menyaksikan kebaikan (sholat ‘ied) dan dakwah kaum muslimin. Aku bertanya kepada beliau: “Wahai Rosululloh, salah seorang dari kami tidak mempunyai jilbab?” Beliau menjawab:”Hendaknya saudarinya meminjamkan jilbabnya untuknya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah memerintahkan para wanita untuk keluar melakukan sholat ‘id bersama dengan manusia tanpa mengecualikan dari mereka seorang pun. Sampai-sampai yang tidak punya jilbab pun, beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan saudarinya untuk meminjamkannya agar dapat keluar. Bahkan para wanita yang sedang udzur (haidh) untuk sholat pun diperintahkan untuk keluar menuju musholla guna menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. (Sholatul ‘Idain fil Musholla, hal. 37)
Juga berdasarkan hadits Abu ‘Umair bin Anas dari seorang Anshor sahabat Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-bahwa orang-orang mengatakan: “Kami tidak melihat hilal Syawal, sehingga paginya kami tetap berpuasa. Kemudian serombongan orang datang menemui Nabi sore harinya dan bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan manusia untuk berbuka puasa hari itu juga dan besoknya keluar ke musholla tempat sholat ‘ied.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang shohih. Lihat Tahqiq Bulugh: 470)
Bagi yang berhalangan untuk hadir di musholla ‘ied dikarenakan sakit dan sebagainya, hendaknya melakukan sholat ‘ied sendirian di tempatnya masing-masing. (Fathul ‘Allam: 2/217)

Syarat bagi wanita yang keluar
Disyaratkan bagi wanita yang keluar menuju musholla ‘ied untuk menutup aurotnya secara sempurna dengan mengenakan jilbabnya yang berwarna gelap, tidak mengenakan pakaian warna-warni penuh hiasan yang mengundang perhatian dan tidak memakai wangi-wangian yang bisa tercium oleh laki-laki, sehingga menimbulkan fitnah. Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
أيما امرأة استعطرت فمرت بقوم ليجدوا ريحها فهي زانية
“Wanita manapun yang memakai minyak wangi, lalu melewati suatu kaum agar mereka mencium aroma wanginya, maka ia termasuk pezina.” (HR. Ahmad dan selainnya dari Abu Musa Al-Asy’ariy -rodhiyallohu ‘anhu- dengan sanad hasan, lihat: Al-Jami’ li Ahkamil ‘Idain, hal. 98, oleh Syaikh Zayid -hafidzohulloh-)
Jika keluarnya para wanita tersebut menimbulkan fitnah, maka mereka melakukan sholat ‘ied di rumah masing-masing. (Fatwa Syaikh Ibnu Hizam -hafidzohulloh- dalam salah satu majelisnya)

Tempat diselenggarakannya sholat ‘ied
Menurut as-sunnah, sholat ‘ied diselenggarakan di musholla (tanah lapang), bukan di masjid. Demikianlah yang biasa dilakukan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-dengan meninggalkan masjidnya yang mulia, sebagaimana dalam hadits AbuSa’id Al-Khudriy dan Ibnu ‘Umar -rodhiyallohu ‘anhummuttafaqun ‘alaih. Demikian juga yang dilakukan oleh para kholifah sepeninggal beliau. Adapun jika ada udzur syar’iyseperti hujan, hawa dingin, angin kencang, rasa takut akan musuh dan sebagainya, maka diselenggarakan di masjid.
Terdapat kekhususan bagi ahli Mekkah (penduduk Mekkah), mereka tidaklah menyelenggarakan sholat ‘ied melainkan di Masjidil Harom, sebagaimana yang dilakukan oleh para salaf sejak dahulu. Mereka tidak pernah meninggalkan masjid terbaik tersebut dan sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa sholat di situ lebih utama, bersamaan dengan sulit didapatnya tanah lapang di Mekkah dan sekitarnya. (Al-Jami’ li Ahkamil ‘Idain, hal. 85-90)
Hikmah diselenggarakannya sholat hari raya di tanah lapang, diantaranya: bahwasanya kaum muslimin, baik laki-laki, perempuan dan anak-anak, berbondong-bondong menuju musholla, disatukan oleh satu kalimat, melakukan sholat di belakang satu imam dengan bertakbir, bertahlil dan berdoa dengan penuh ikhlas. Sepertinya mereka memiliki satu hati dalam keadaan bergembira dan senang dengan kenikmatan Alloh yang dianugerahkan kepada mereka berupa kebaikan dan dakwah kaum muslimin, yang padanya turun rahmat dan keridhoan Alloh -ta’ala-, sehingga hari itu benar-benar merupakan hari raya.
Kemudian setelah sholat, imam memberikan khutbah yang berisi nasehat dan ilmu yang bermanfaat bagi kaum muslimin, baik untuk agama maupun dunia mereka dan menganjurkan mereka untuk bershodaqoh, sehingga banyak dari kalangan orang-orang kaya menjadi terketuk hatinya untuk membantu si miskin yang hal itu membuat hatinya bahagia dan gembira pula atas apa yang diberikan oleh Alloh -ta’ala- berupa rezki dalam perkumpulan yang berbarokah tersebut. (Sholatul ‘Idain fil Musholla, hal. 37-38)

Tidak ada adzan, iqomah atau seruan lainnya
Sholat hari raya tidak didahului adzan, iqomah ataupun seruan serta aba-aba apapun, baik sebelum keluarnya sang imam, ketika keluarnya maupun sesudah keluarnya. Hal ini sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah, Ibnu ‘Abbas -rodhiyallohu ‘anhum- dalam Shohih Bukhoriy dan Muslim serta hadits Jabir bin Samuroh -rodhiyallohu ‘anhu- dalam Shohih Muslim. Demikian juga tidak diserukan dengan: “Ash-Sholatu jami’ah,” karena hal ini tidak pernah diriwayatkan secara shohih dari Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat beliau. Itu semua adalah termasuk perkara bid’ah dan muhdats dalam agama ini. (Fatwa Syaikh Ibnu Bazz -rohimahulloh- dan selainnya, lihat Al-Jami’ li Ahkamil ‘Idain, hal. 115-121; Fathul ‘Allam: 2/205)
Akan tetapi yang benar adalah begitu nampak sang imam keluar, maka para jama’ah segera berdiri meluruskan shof masing-masing dan siap untuk memulai sholat. Wallohu a’lam.

Tidak ada sunnah qobla atau ba’da ‘ied
Tidak disunnahkan sholat rowatib qobla ‘ied atau ba’da ‘ied, akan tetapi Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- begitu keluar menuju musholla, langsung melakukan sholat ‘ied dua rokaat. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas -rodhiyallohu ‘anhuma-, bahwasanya Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- keluar pada hari fithri dan melakukan sholat dua rokaat (‘iedul fithri), tidak melakukan sholat (sunnah) apapun, baik sebelum maupun sesudahnya. Waktu itu beliau bersama Bilal.” (HR. Bukhoriy: 989, Muslim: 884)
Jika sholat ‘ied tersebut dilakukan di masjid, maka hendaknya melakukan sholat tahiyatul masjid dua rokaat terlebih dahulu sebelum duduk menunggu imam keluar memulai sholat dan tidak melakukan sholat lainnya. Adapun jika telah menunaikan sholat ‘ied dan telah kembali ke rumah masing-masing, maka dipersilahkan untuk  melakukan sholat sunnah lainnya, seperti sholat Dhuha dan selainnya. (Al-Jami’ li Ahkamil ‘Idain, hal. 256-259; Fathul ‘Allam: 2/204-205)

Mengambil jalan lain ketika pulang
Ketika selesai melakukan sholat dan mendengarkan khutbah ‘ied, maka disunnahkan untuk mengambil jalan pulang selain jalan ketika berangkat. Hal ini berdasarkan hadits Jabir atau Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhuma-: “Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mengambil jalan lain ketika hari raya.” (HR. Bukhoriy: 986)
Hikmah dari amalan ini disebutkan diantaranya: untuk lebih banyak menyebarkan salam kepada manusia pada kedua jalan tersebut. Juga untuk menampakkan syiar Islam lebih banyak di setiap jalan. Juga untuk menimbulkan kejengkelan bagi para munafik dengan menampakkan ketinggian dan kemuliaan Islam dan syiar-syiar Islam serta kaum muslimin. Juga untuk memperbanyak langkah ketika pergi dan pulang dari tempat sholat, sehingga mendapatkan lebih banyak pahala dan dihapuskan lebih banyak dosa dan kesalahan dan hikmah lainnya yang belum disebutkan di sini. Yang jelas dan pasti adalah amalan itu dalam rangka meneladani dan mengikuti tuntunan Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan ini adalah hikmah tertinggi dalam pelaksanaan syariat. (lihat Zadul Ma’ad: 1/449, oleh Ibnul Qoyyim -rohimahulloh-;Al-Jami’ li Ahkamil ‘Idain, hal. 112)

Ucapan selamat idul fitri dan berjabat tangan serta saling maaf-memaafkan
Belum ada riwayat yang shohih dari Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam masalah tahni’ah(ucapan selamat) pada hari raya. Hanya saja telah diriwayatkan dari beberapa orang sahabat Nabi akan hal tersebut, wallohu a’lam akan keshohihannya.
Para ulama -seperti Imam Ahmad -rohimahulloh- dan selain beliau- membolehkan kepada seseorang untuk mengucapkan ucapan-ucapan selamat ‘Idul Fithri, seperti: “Taqobbalallohu minna wa minkum”(semoga Alloh menerima amalanku dan kalian semua) dan selainnya dari ucapan-ucapan yang baik maknanya. Akan tetapi beliau -rohimahulloh- mengatakan: “Aku tidak memulai untuk memberikan ucapan selamat kepada seorang pun. Jika seseorang memberikan ucapan selamat kepadaku, maka aku akan membalasnya.” Beliau juga mengatakan: “Alangkah baiknya ucapan selamat itu, akan tetapi aku khawatir akan menjadi masyhur.” Yaitu beliau khawatir bahwa hal itu akan dikenal masyarakat awam sebagai ajaran agama.
Kesimpulannya, bahwa memulai ucapan selamat bukanlah bagian dari sunnah dan juga bukan perkara yang terlarang. Bagi siapa yang diucapkan kepadanya ucapan selamat tersebut, maka hendaknya membalasnya dengan baik. Wallohu a’lam. (lihat Al-Mughni: 2/399, karya Ibnu Qudamah; Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam: 24/203; Fathul Bariy karya Ibnu Rojab: 9/74)
Adapun berjabatan tangan setelah sholat ‘Idul Fithri, sebagaimana yang biasa dilakukan, maka pengkhususan hal itu tidak juga tsabit (shohih) dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Akan tetapi berjabat tangan ketika bertemu merupakan perkara yang dianjurkan di setiap waktu dan tempat, sebagaimana sabda Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-:
ما من مسلمين يلتقيان في صافحان إلا غفر لهما قبل أن يتفرقا
“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu dan berjabatan tangan, melainkan keduanya akan diampuni dosanya sebelum keduanya berpisah.” (HR. Tirmidziy dan selainnya, dishohihkan atau dihasankan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah: 525) (Al-Jami’ li Ahkamil ‘Idain: hal. 296-300)
Demikian juga pengkhususan saling maaf-memaafkan di hari raya fithri, bukan termasuk sunnah. Akan tetapi jika ada kesalahan pada seseorang, hendaknya segera meminta maaf tanpa menunggu datangnya hari raya.

Hiburan dan permainan di hari ‘ied
Mengadakan acara permainan, perlombaan atau pertandingan serta hiburan-hiburan di hari raya merupakan perkara yang diperbolehkan oleh syariat dalam rangka menampakkan kebahagiaan dan suka cita di hari bahagia tersebut. Hal ini termasuk dalam kemudahan dan syi’ar agama kita selama tidak ada unsur-unsur kemaksiatan di dalamnya.
Adapun berkaitan dengan permainan atau perlombaan, maka dalam hadits Aisyah -rodhiyallohu ‘anha-:
وَكَانَ يَوْمَ عِيدٍ، يَلْعَبُ السُّودَانُ بِالدَّرَقِ وَالحِرَابِ، فَإِمَّا سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِمَّا قَالَ: تَشْتَهِينَ تَنْظُرِينَ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، فَأَقَامَنِي وَرَاءَهُ، خَدِّي عَلَى خَدِّهِ، وَهُوَ يَقُولُ: دُونَكُمْ يَا بَنِي أَرْفِدَةَ حَتَّى إِذَا مَلِلْتُ، قَالَ: حَسْبُكِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: فَاذْهَبِي
“Ketika hari raya, dua orang Sudan bermain dengan tombak kecil dan tameng. Maka Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menanyaiku atau berkata kepadaku: “Kamu ingin melihatnya?” Kujawab: “Ya.” Maka beliau meletakkanku di belakangnya sambil berkata: “Bermainlah, wahai Bani Arfadah.” Ketika aku sudah merasa bosan, maka beliau berkata: “Sudah cukup?” Kujawab: “Ya.” Beliau berkata: “Pergilah.” (HR. Bukhoriy: 950)
Dalam riwayat Muslim dalam Shohihnya (892):
جَاءَ حَبَشٌ يَزْفِنُونَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فِي الْمَسْجِدِ، فَدَعَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَضَعْتُ رَأْسِي عَلَى مَنْكِبِهِ، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ، حَتَّى كُنْتُ أَنَا الَّتِي أَنْصَرِفُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهِم
“Orang-orang Habasyah bermain-main (dengan tombak dan tameng) di masjid pada hari raya. Maka Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- memanggilku dan meletakkan kepalaku pada pundaknya. Maka aku mulai menonton permainan mereka sampai aku meninggalkan mereka.”
Dianjurkan untuk mengadakan permainan, pertandingan atau perlombaan yang sifatnya melatih ketrampilan dalam bela diri, menunjang kekuatan dan kegesitan tubuh, seperti: gulat, anggar, panahan, lomba lari, berenang dan sebagainya, karena hal-hal tersebut dapat menunjang jihad fii sabilillah. (lihatSyarh Shohih Muslim oleh Imam An-Nawawiy, no. 892; Fathul Bariy karya Ibnu Hajar: 2/445 dan Ibnu Rojab: 8/422) (Al-Jami’ li Ahkamil ‘Idain, hal. 302-303)
Adapun berkaitan dengan hiburan-hiburan di hari raya, maka diperbolehkan bagi para wanita untuk menabuh rebana Arab sambil melantunkan bait-bait syair. Dalam hadits ‘Aisyah -rodhiyallohu ‘anha-:
دَخَلَ عَلَيَّ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ، تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ بِهِ الْأَنْصَارُ، يَوْمَ بُعَاثَ، قَالَتْ: وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: أَبِمَزْمُورِ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا، وَهَذَا عِيدُنَا
“Abu Bakar masuk ke tempatku dan di sisiku ada dua orang gadis dari Anshor sedang bernyanyi (melantunkan bait-bait syair) tentang apa yang terjadi pada perang Bu’ats. Mereka berdua bukanlah para penyanyi (biduwanita). Lalu Abu Bakar mengatakan: “Apakah seruling-seruling setan berada di rumah Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-?! Ketika itu di hari raya. Maka Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berkata: “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya dan ini adalah hari raya kita.” Dalam sebuah riwayat: “Biarkanlah mereka, wahai Abu Bakar. Ini adalah hari raya.” (HR. Bukhoriy: 949, 952 dan Muslim: 892)
Dalam hadits ini, diperbolehkan bagi para wanita untuk menabuh rebana Arab (tak bergenta atau bergemerincing) sambil melantunkan bait-bait syair (anasyid), meskipun terdengar oleh laki-laki pada hari raya.
Perlu diperhatikan mengenai bait-bait yang dilantunkan, yaitu berisi tentang kisah kepahlawanan dan keberanian para pejuang dan yang semisalnya, juga berisi tentang keimanan, amal sholeh dan makna-makna syar’iy lainnya. Adapun bait-bait yang bersifat cengeng, memicu syahwat dan pornografi serta kemaksiatan, sebagaimana nyanyian-nyanyian masa kini yang marak di pasaran, maka hal ini tidaklah diperbolehkan.
Demikian pula alat-alat musik yang ada seperti: rebana yang bergemerincing, kendang, seruling, gitar, piano dan sebagainya, baik yang dipukul, diketuk, ditiup maupun digesek, maka ini termasuk yang dilarang dalam syariat menurut kesepakatan para ulama, kecuali pendapat yang ganjil. Nyanyian dan alat-alat musik tersebut dapat menggerakkan syahwat, merubah tabiat serta mengundang kemaksiatan dan fitnah lainnya, diharamkan bagi laki-laki dan perempuan. Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-bersabda:
ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف
“Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutra, minuman keras dan alat-alat musik.” (HR. Bukhoriy: 5590 dari Abu ‘Amir Al-Asy’ariy -rodhiyallohu ‘anhu-)
Ketika nyanyian dan alat-alat musik tersebut pertama muncul setelah dikalahkannya Romawi dan Persia di zaman sahabat Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, mereka (para sahabat) mengingkari dan melarangnya. Sampai-sampai Ibnu Mas’ud -rodhiyallohu ‘anhu- mengatakan: “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan sayuran.” (lihat Fathul Bariy karya Ibnu Rojab: 8/426-435; Tahrim Alat Lahwi wat-Thorb, karya Syaikh Al-Albaniy -rohimahulloh-)
Hukum menabuh rebana bagi laki-laki tidak diperbolehkan dalam syariat sebagaimana alat-alat musik lainnya, karena hal ini termasuk perbuatan menyerupai wanita. Tidaklah yang menabuh rebana pada zaman Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- melainkan para wanita atau para banci dan syariat telah datang mengenai pembolehan hal tersebut untuk para wanita saja, karena kelemahan akal-akal mereka.
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم المتشبهين من الرجال بالنساء والمتشبهات من النساء بالرجال
“Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- melaknat para laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhoriy: 5885 dari Ibnu ‘Abbas -rodhiyallohu ‘anhuma-)
Dalam hadits ‘Aisyah -rodhiyallohu ‘anha- di atas, bahwa Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-menyetujui penamaan Abu Bakar terhadap rebana sebagai seruling setan. Ini menunjukkan bahwa hal itu diharomkan secara umum, kecuali siapa yang dikhususkan oleh beliau, yaitu bagi wanita pada hari-hari bahagia. Demikian juga hal itu ditunjukkan oleh hadits Abu ‘Amir Al-Asy’ariy -rodhiyallohu ‘anhu-tersebut di atas, bahwa rebana termasuk alat musik yang diharamkan, selain yang dikecualikan. (Al-Jami’ li Ahkamil ‘Idain, hal. 305-308; Fathul ‘Allam: 2/212-214)

Beberapa kemungkaran di hari ‘ied

Ikhtilath laki-laki dan perempuan
Termasuk kemungkaran yang ada adalah ikhthilath (campur-baur) antara laki dan perempuan yang bukan mahromnya, baik di jalan-jalan, rumah-rumah serta tempat-tempat pertemuan lainnya. Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إياكم والدخول علىالنساء فقال رجل من الأنصار: يا رسول الله أفرأيت الحمو قال: الحمو الموت
“Janganlah kalian bercampur-baur dengan wanita (selain mahromnya)!” Seorang sahabat dari Anshor berkata: “Wahai Rosululloh, bagaimana dengan hamwu (kerabat dari pihak suami selain mahromnya)?” Beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “Mereka itu (hamwu) adalah kematian atau kebinasaan!” (HR. Bukhoriy: 5232 dan Muslim: 2172)
Dalam hadits ini, Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- melarang untuk bercampur dengan kerabat wanita yang bukan mahromnya, seperti istri saudara laki-laki, saudara sepupu (anak perempuan paman atau bibi) dan sebagainya -terlebih lagi jika bukan kerabat- dan mengatakan bahwa bercampur-baur dengan mereka adalah kematian dan kebinasaan. Hal itu karena bercampurnya mereka tersebut lebih berbahaya daripada bercampur dengan wanita bukan kerabat dan lebih dekat untuk terjatuh pada kemaksiatan, karena orang-orang banyak bermudah-mudahan dan kurangnya perhatian serta pengingkaran dalam masalah ini, sehingga lebih kuat untuk menghantarkan kepada timbulnya fitnah. Berbeda dengan wanita asing (bukan kerabat), maka kecurigaan dan pengingkaran akan hal itu akan timbul lebih besar, sehingga kehati-hatian akan lebih ditingkatkan. (lihat Syarh Shohih Muslim: 2172, karya Imam An-Nawawiy -rohimahulloh-)

Jabat tangan antara laki-laki dengan perempuan lain
Demikian juga, termasuk kemungkaran yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin adalah berjabatan tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahromnya, baik ketika acara ziaroh (saling kunjung-mengunjungi) maupun pada pertemuan-pertemuan keluarga, sanak kerabat dan handai taulan. Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لأن يطعن في رأس رجل بمخيط من حديد خير من أن يمس امرأة لا تحل له
“Sungguh, lebih baik kepala seorang laki-laki itu ditusuk dengan jarum dari besi daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thobroniy, Baihaqiy dan selainnya, dihasankan oleh Syaikh Al-Albaniy dalamAsh-Shohihah: 226)
Dalam hadits ini terdapat ancaman yang keras bagi siapa yang menyentuh perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahromnya). Demikian juga, hal ini sebagai dalil diharamkannya berjabatan tangan dengan wanita, karena hal itu lebih dari sekedar menyentuhnya. (lihat Ash-Shohihah: 226, karya Syaikh Al-Albaniy -rohimahulloh-)
Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sendiri tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita yang bukan mahromnya, baik dalam bai’at atau selainnya, sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah -rodhiyallohu ‘anha-:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يبايع النساء بالكلام بهذه الآية (على أن لا يشركن بالله شيئا) قالت وما مست يده يد امرأة قط إلا امرأة يملكها
“Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- membai’at para wanita dengan ucapan, ketika turun ayat (maknanya): “Untuk tidak menyekutukan Alloh dengan suatu apapun…” (QS. Al-Mumtahanah: 12). Sama sekali tidaklah pernah tangan beliau menyentuh tangan perempuan (selain mahromnya), kecuali perempuan yang dimilikinya (baik mahrom maupun budak beliau).” (HR. Ahmad: 25198, Bukhoriy: 7214)

Isrof dan tabdzir
Berlebih-lebihan dan pemborosan (isrof dan tabdzir) dalam membelanjakan hartanya untuk penyediaan makanan, pakaian dan permainan pada hari-hari raya merupakan perkara yang diharamkan. Alloh -ta’ala-berfirman:
ولا تسرفوا إنه لا يحب المسرفين
“Janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’am: 141; Al-A’raf: 31)
Sikap berlebih-lebihan yang dilarang dalam ayat ini mencakup berlebih-lebihan dalam makanan, pakaian, berinfaq dan sebagainya dari rezki yang diberikan Alloh kepada hamba-Nya, yaitu melebihi batas yang wajar dan kebiasaannya. Sikap berlebihan ini bisa jadi berupa tambahan yang melebihi kadarnya yang cukup dan ketamakan terhadap macam-macam makanan, sehingga dapat mengganggu kesehatan badan. Bisa juga berupa bermewah-mewahan dalam hal makanan, minuman dan pakaian dan bisa juga berupa melanggar perkara yang diharamkan oleh syariat berkaitan dengan hal tersebut.
Sikap berlebih-lebihan (isrof) ini dibenci oleh Alloh -ta’ala- dan dapat merugikan kesehatan dan penghidupan seorang hamba. (lihat tafsir As-Sa’diy pada ayat tersebut)
Jika seseorang membelanjakan hartanya ketika hari raya secara wajar dan tidak berlebih-lebihan, maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu hukumnya mubah, sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bahwa hari-hari raya itu adalah hari-hari makan, minum dan dzikir kepada Alloh -ta’ala-. (lihat As-Sunan wal Mubtadi’at, hal. 103, oleh Muhammad Asy-Syuqoiriy -rohimahulloh-)
Firman Alloh -ta’ala-:
ولا تبذر تبذيرا * إن المبذرين كانوا إخوان الشياطين وكان الشيطان لربه كفورا
“Janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara para setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Robb-nya.” (QS. Al-Isro’: 26-27)
Hendaknya seorang muslim itu membelanjakan hartanya tanpa mengakibatkan dampak buruk bagi dirinya dan tidak melebihi dari kadar yang sewajarnya, karena hal itu termasuk tabdzir (pemborosan) yang dilarang oleh Alloh -ta’ala- dalam ayat tersebut. Alloh -ta’ala- menjadikan para pemboros (mubaddzirin) tersebut sebagai saudara-saudara setan lantaran setan itu tidaklah menyeru, kecuali kepada sifat-sifat yang buruk lagi tercela.Maka dia mengajak manusia untuk bersifat bakhil dan tamak.Jika tidak mangikutinya, maka dia ajak untuk bersifat lawannya, yaitu isrof dan tabdzir (berlebih-lebihan dan pemborosan). Adapun Alloh -ta’ala-, hanyalah memerintahkan untuk berbuat suatu yang paling adil (pertengahan) dan memuji hamba yang demikian itu sifatnya, sebagaimana dalam firman-Nya tentang sifat-sifat ‘ibadurrohman (hamba-hamba Ar-Rohman) yang baik:
والذين إذا أنفقوا لم يسرفوا ولم يقتروا وكان بين ذلك قواما
“Orang-orang yang apabila membelanjakan harta, maka mereka tidak berlebihan dan tidak pula kikir. (Akan tetapi) pembelanjaan itu di tengah-tengah yang demikian (pertengahan).” (QS. Al-Furqon: 67)

Peringatan: Permainan petasan atau mercon dengan berbagai macamnya, selain merupakan pemborosan dalam membelanjakan harta, juga mendatangkan kerugian yang tidak kecil, diantaranya: dapat melukai dan membuat cacat anggota badan jika mengenainya. Berapa banyak penulis mendengar kasus jari-jari putus lantaran permainan ini. Demikian juga dapat membakar baju mereka dan selainnya dari barang-barang yang mudah terbakar; membuat kegaduhan di tengah-tengah masyarakat; mengganggu para pemakai jalan dengan suara yang mengagetkan; dapat menimbulkan pertengkaran dan permusuhan jika salah seorang dari mereka terkena petasan temannya atau pihak lain; menyia-nyiakan waktu dengan sesuatu yang kurang bermanfaat; merugikan perekonomian kaum muslimin dengan mengkonsumsi petasan tersebut dalam jumlah besar; sebaliknya, meningkatkan perekonomian kaum kafir, karena kebanyakan petasan tersebut adalah produk mereka dan lain sebagainya dari kerusakan dan kerugian yang dialami kaum muslimin dari permainan tersebut. Maka hendaknya bagi orang yang berakal sehat untuk meninggalkan model-model permainan seperti ini dan menggantinya dengan permainan lain yang lebih selamat dan bermanfaat. Wabilahit-taufiq. (Al-Jami’ li Ahkamil ‘Idain, hal. 310-314)

Pengkhususan ziarah kubur
Secara umum, ziarah kubur merupakan amalan yang dianjurkan oleh syariat. Akan tetapi ziarah kubur secara khusus setelah sholat ‘ied termasuk kebid’ahan, tidak ada tuntunannya dalam syariat. Tujuan ziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan mendoakan untuk si mayit penghuni kubur, maka hal ini dilakukan sewaktu-waktu tanpa mengkhususkan atau mencari hari-hari atau waktu tertentu. (LihatAs-Sunan wal Mubtadi’at, hal. 102; Ahkamul Jana’iz, hal. 325, oleh Syaikh Al-Albaniy -rohimahumalloh-)
Inilah beberapa hal yang perlu disampaikan pada kesempatan kali ini berkaitan dengan amalan-amalan hari raya ‘Idul Fithri. Hal ini sebagai isyarat dari perkara-perkara lainnya di hari bahagia tersebut. Kita berdoa kepada Alloh semoga Dia memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kaum muslimin, sehingga mereka melakukan segala urusan, baik menyangkut perkara dunia maupun akherat di atas ilmu dan bashiroh. Dengan demikian, mereka dapat menempatkan segala sesuatu itu pada tempatnya dan terhindar dari segala yang mendatangkan kerugian bagi diri-diri, keluarga dan masyarakat kaum muslimin, dengan mengisi hari bahagia ini dengan sesuatu yang bermanfaat; menunjang ketakwaan dan keimanan serta menghindari perkara-perkara yang merusak hal tersebut, baik berupa kebid’ahan, kemaksiatan dan perbuatan sia-sia. Wal-hamdulillahi robbil ‘alamin.

Sumber penulisan risalah:
-  Taisir Al-Karimir-Rohman fii tafsir Kalamil-Mannan (Tafsir As-Sa’diy), karya Abdurrohman bin Nashir As-Sa’diy -rohimahulloh- (wafat 1376H), cet. Mu’assasah Ar-Risalah-Beirut, tahun 1420H.
-  Sholatul ‘Idain fil Musholla Hiya As-Sunnah, karya Syaikh Nashir Al-Albaniy –rohimahulloh-, cet. Maktabul Islamiy, tahun 1406H.
-  Al-Jami’ li-Ahkamil ‘Idain Minal Kitab was-Sunnah wa Aqwalil Aimmah, oleh Syaikh Zayid bin Hasan Al-Wushobiy -hafidzohulloh-, cet. Maktabah ‘Ibadurrohman-Mesir, tahun 1428H.
-  Fathul ‘Allam fii Dirosah Ahadits Bulughil Marom -haditsiyan wa fiqhiyyan ma’a Ba’dhil Masa’il Al-Mulhaqoh-, oleh Syaikh Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Al-Fadhiy -hafidzohulloh-, cet. Maktabah Ibnu Taimiyyah-Yaman, tahun 1432H.
-  Sholatul ‘Idain, terbitan Wizaroh Al-Auqof Saudi Arabia; naskah Maktabah Asy-Syamilah edisi 3,47.